Pengertian Hiperinflasi, Faktor Penyebab, Dampak, dan Contohnya
Hiperinflasi |
A. Pengertian Hiperinflasi
Hiperinflasi adalah inflasi yang tidak terkendali, di mana pihak pemerintahan pada suatu negara tidak mampu lagi mengendalikan arus inflasi pada negaranya. Kondisi ini ditandai dengan lonjakan harga yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba, tanpa adanya kenaikan pendapatan secara umum, sehingga jumlah uang yang beredar terlalu banyak, namun nilai mata uang turun secara drastis.
Kondisi mengerikan ini terjadi jika nilai inflasi melebih 50%, bahkan bisa menyentuh 100% dalam kurun waktu satu bulan saja. Dalam kondisi ekonomi yang normal atau cenderung stabil, umumnya inflasi akan dilaporkan setahun sekali. Namun, dalam kondisi hiperinflasi, maka laporan inflasi akan dilakukan secara interval lebih singkat, yaitu sebulan sekali.
Hiperinflasi Menurut Para Ahli
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hiperinflasi adalah kondisi ekonomi yang ditandai oleh naiknya harga barang dengan cepat dan menurunnya daya beli; hal itu mengancam stabilitas ekonomi dan kemampuan untuk membayar kembali utang luar negeri; istilah ini sering dipakai jika harga barang konsumsi naik lebih dari 50% per bulan, terutama di negara berkembang (hyperinflaflorr runaway inflation).
B. Faktor Penyebab Hiperinflasi
Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya hiperinflasi di antaranya,
1. Defisit Anggaran Pemerintah dengan Solusi Mencetak Uang
Setiap pemerintahan pada tiap negara pasti akan memerlukan anggaran untuk melakukan pembangunan. Berbagai anggaran ini bisa didapatkan dari berbagai sumber, seperti dari pajak ataupun utang luar negeri. Tapi, sistem pemungutan pajak secara berlebihan akan dianggap membebani rakyat. Sementara itu, utang luar negeri pun nantinya akan membebani anggaran pihak pemerintah.
Keputusan tentang pengadaan sumber dana anggaran dari pihak pemerintah ini akan masuk pada ranah kebijakan moneter yang ditempuh dengan cara mempertimbangkan kondisi dan situasi ekonomi di dalam negeri.
Keraguan tentang menarik pajak dan mengajukan pinjaman dari luar negeri malah terkadang membuat pemerintah menjadi salah mengambil kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah lebih sering memilih mencetak mata uang baru guna membiayai adanya defisit anggaran. Namun, cara tersebut justru menimbulkan malapetaka ekonomi, yang mana jumlah uang yang beredar di masyarakat semakin banyak dan bisa memicu terjadinya hiperinflasi.
Defisit anggaran yang mencoba diatasi dengan mencetak mata uang lebih banyak, tak ada bedanya dengan pemerintah sedang menarik pajak inflasi dari rakyatnya. Hal ini tentu berbeda dengan pajak pada umumnya, karena pajak inflasi tidak kelihatan dan pemerintah pun tidak menerima tagihan yang sebenarnya dari pajak ini.
Ketika pihak pemerintah banyak mencetak mata uang, maka tingkat harga pasti akan mengalami kenaikan, karena nilai mata uangnya mengalami penurunan. Banyak masyarakat memiliki uang, namun daya belinya justru menurun karena nilai yang dimiliki sudah tidak sesuai dengan tingkat harga komoditas yang ada pada negara tersebut.
2. Perang
Saat ada negara yang sedang berperang, sudah otomatis kondisi perekonomian di dalam negaranya menjadi tidak stabil. Berbagai faktor ekonomi dan juga produksi sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan seperti seharusnya untuk bisa mengembangkan dan juga meningkatkan perkembangan ekonomi negara.
Selain itu, perang juga pasti akan memerlukan pendanaan yang besar. Tidak hanya untuk pengadaan senjata dan alat tempur juga, pihak pemerintah juga harus mampu memberikan kompensasi pada setiap jasa pejuang.
Di tengah kondisi negara yang sedang tidak aman karena perang, umumnya pemerintah akan menjadi tidak fokus pada perekonomian di dalam negaranya. Produktivitas pada sektor riil yang menurun akan berdampak besar pada pendapatan nasional yang ikut turun. Tapi di sisi lain, pemerintah memerlukan dana yang besar untuk mendanai perang.
3. Kondisi Sosial Politik yang Memanas
Memanasnya kondisi sosial politik yang terjadi pada suatu negara juga menjadi biang keladi hiperinflasi. Karena konflik internal yang sedang terjadi akan berpotensi besar menyebabkan kerusuhan dan huru-hara yang bisa berdampak pada ketidakstabilan ekonomi.
Setiap kerusuhan dan huru-hara akan selalu beriringan dengan perusakan berbagai infrastruktur dan juga fasilitas umum. Bila kondisi ini berlangsung lama, maka sudah pasti akan menghambat laju perekonomian karena proses produksi pada industri tidak bisa maksimal, sehingga tingkat produksi para produsen menjadi menurun.
Lebih lanjut lagi, hal tersebut akan berdampak besar pada penurunan pendapatan nasional. Sementara itu, dampak yang terjadi karena konflik internal atas adanya kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum tentu memerlukan anggaran dana yang sangat besar untuk memperbaiki dan juga membangun kembali.
C. Dampak Hiperinflasi
Hiperinflasi bisa menyebabkan beberapa konsekuensi terhadap perekonomian sebuah negara. Bila pada kondisi ekonomi normal kenaikan harga terjadi bersamaan dengan kenaikan upah pekerja, hal serupa tak terjadi ketika sebuah negara dihadapkan pada hiperinflasi.
Ketika harga-harga mengalami kenaikan yang terjadi secara pesat dan tak terkendali, maka uang tunai, atau jumlah tabungan di bank akan mengalami penurunan dari sisi nilai. Selain itu, uang tunai bisa jadi menjadi tak memiliki nilai karena uang kian berkurang daya belinya.
Hal ini juga menyebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menjadi tak terkendali. Misalnya saja, terjadi penjarahan di toko atau pasar karena masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Kondisi hiperinflasi juga bisa menjadi faktor kebangkrutan terjadi di sektor finansial. Pasalnya, orang menjadi kehilangan kemampuan untuk menabung.
Pendapatan negara yang bersumber dari pajak juga bisa mengalami penurunan bila konsumen dan pelaku usaha tak bisa membayar kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya juga kian terbatas.
Hiperinflasi juga akan berefek negatif terhadap nilai mata uang pada suatu negara. Mereka yang mengalami kondisi mengerikan ini, maka nilai mata uang negaranya akan mengalami penurunan dari nilai yang sebenarnya. Itu artinya, nilai mata uang lokal akan mengalami penurunan daya beli, atau bahkan menjadi tidak berharga sedikit pun.
Dalam kondisi ini, maka mata uang asing lah yang justru memiliki peran penting dalam perekonomian lokal karena nilainya yang lebih cenderung stabil.
D. Contoh Hiperinflasi
1. Hiperinflasi Indonesia 1963-1965. Hiperinflasi terjadi di Indonesia pada akhir masa Orde Lama di tahun 1963-1965. Presiden RI Soekarno yang memiliki proyek pembangunan mencetak Rupiah untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megah hingga inflasi mencapai 600%. Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan (terutama pada tahun 1962-1963). Sehingga tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai rupiah (Sanering) dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.
2. Venezuela. Situasi di negara ini sedang berkembang. Pada November 2016 ada kenaikan harga yang kuat, sebesar 221%, yang menyebabkan harga berlipat ganda setiap 17,8 hari. Situasi ini mengarah pada penciptaan uang kertas baru 500, 1.000, 2.000, 5.000, 10.000 dan 20.000 bolivar.
3. Armenia. Antara Oktober 1993 dan Desember 1994 ada inflasi bulanan yang kuat sebesar 438%. Rata-rata, butuh 12,5 hari untuk menggandakan harga.
4. Cina. Di Cina, inflasi bulanan berhasil naik ke 5070% antara Oktober 1947 dan Mei 1949. Ini menyebabkan harga naik 14,1% setiap hari.
5. Yunani. Antara Mei 1941 dan Desember 1945, inflasi bulanan tertinggi yang pernah diderita negara ini adalah 13.800%. Dengan melemahnya harga drachma, dua kali lipat setiap 4 hari.
6. Jerman. hiperinflasi sangat parah sehingga uang kertas berfungsi lebih baik sebagai kertas dinding karena tidak ada nilainya, situasi ini terjadi antara Agustus 1992 dan Desember 1923 dengan inflasi mencapai 29.500%.
Dari berbagai sumber
Post a Comment