Pengertian Wanprestasi, Bentuk, Syarat, Faktor, dan Akibat Hukumnya
Wanprestasi (Gagal Bayar) |
A. Pengertian Wanprestasi (Gagal Bayar)
Wanprestasi (gagal bayar) adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah disepakati, atau bahkan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Kewajiban tersebut umumnya berupa utang dan umumnya dialami oleh kebanyakan para pebisnis atau wirausaha, yang memang kerap kali melakukan pinjaman modal untuk bisnis pada badan ataupun lembaga keuangan seperti perbankan.
Wanprestasi dari bahasa Belanda, yaitu "wanprestatie" yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Wanprestasi tentunya memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi agar memberikan ganti rugi, sehingga diharapkan secara hukum tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.
Wanprestasi diatur di dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau KUHper yang berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Wanprestasi (Gagal Bayar) Menurut Para Ahli
1. Harahap, wanprestasi adalah suatu implementasi dari kewajiban yang tidak mampu dilakukan tepat waktu. Sehingga, menimbulkan seorang debitur untuk membayar kompensasi. Atau jika wanprestasi dialami oleh salah satu pihak, maka pihak lain tersebut bisa meminta pembatalan perjanjian.
2. Prodjodikoro, wanprestasi adalah suatu tidak tercapainya bentuk pencapaian dalam hukum kontrak, yang berarti suatu hal tersebut harus bisa dilakukan sebagai suatu isi perjanjian.
3. Muhammad (1982), wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang harus ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang-undang.
4. Erawaty dan Badudu (1996), wanprestasi adalah pengingkaran terhadap suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
5. Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap di mana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.
B. Bentuk Wanprestasi (Gagal Bayar)
Terdapat tiga bentuk wanprestasi menurut Satrio (1999) di antaranya,
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
C. Syarat Wanprestasi (Gagal Bayar)
Syarat tertentu hingga terpenuhinya wanprestasi menurut Subekti (Ibrahim, 2004) di antaranya,
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga dikatakan dalam keadaan wanprestasi di antaranya,
1. Syarat materill, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) kesengajaan adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan di mana seseorang yang wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
D. Faktor Wanprestasi (Gagal Bayar)
Menurut Satrio dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang membuat suatu pihak atau individu mengalami wanprestasi di antaranya,
1. Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)
Bentuk kerugian bisa disalahkan pada pihak debitur jika terdapat unsur kesengajaan ataupun kelalaian dalam suatu peristiwa yang bisa merugikan pihak debitur yang kemudian bisa dipertanggung jawabkan terhadapnya. Kelalaian merupakan suatu kondisi di mana pihak debitur harus mengetahui atau harus mencurigai bahwa tindakan ataupun sikap yang dilakukannya bisa membuat kerugian pada pihak lain.
2. Karena Adanya Kondisi Pemaksaan
Kondisi pemaksaan adalah suatu kondisi yang tidak mampu dipenuhi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukanlah kesalahannya. Kondisi tersebut tidak bisa diketahui ataupun tidak mampu diprediksi saat melakukan suatu kontrak. Dalam kondisi yang terpaksa ini, pihak debitur tidak bisa disalahkan karena kondisi paksaan ini hadir di luar kemampuan dan juga kemauan pihak debitur. Dalam keadaan yang dipaksakan ini, debitur tidak dapat disalahkan karena situasi paksaan muncul di luar kemauan dan kemampuan debitur.
E. Akibat Hukum Wanprestasi (Gagal Bayar)
Akibat hukum atau sanksi yang diberikan kepada debitur karena melakukan wanprestasi di antaranya,
1. Kewajiban membayar ganti rugi
Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran.
Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atas pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan bunga adalah segala kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.
2. Pembatalan perjanjian
Sebagai sangsi yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa pembatalan perjanjian. Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang tidak dapat melihat sifat pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman dianggap debitur malahan merasa puas atas segala pembatalan tersebut karena ia merasa dibebaskan dari segala kewajiban untuk melakukan prestasi.
Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
3. Peralihan risiko
Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang objeknya suatu barang, seperti pada perjanjian pembiayaan leasing. Dalam hal ini seperti yang terdapat pada pasal 1237 KUHPerdata ayat 2 yang menyatakan‚ Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya kebendaan adalah atas tanggungannya.
Dari berbagai sumber
Post a Comment