Pengertian Perceraian, Landasan Hukum, Penyebab, Proses, Jenis, dan Dampaknya

Table of Contents
Pengertian Perceraian
Perceraian

A. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan peran masing-masing. Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.

Perceraian sebagai putusnya hubungan perkawinan secara hukum yang disebabkan pada hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik yang biasanya didahului oleh konflik antar pasangan suami istri yang pada akhirnya mengawali berbagai perubahan emosi, psikologis, lingkungan dan anggota keluarga serta dapat menimbulkan perasaan yang mendalam.

Perceraian Menurut Para Ahli
1. Spanier dan Thompson (1984), perceraian adalah suatu reaksi terhadap hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik dan bukan merupakan suatu ketidaksetujuan terhadap lembaga perkawinan.
2. Ahrons dan Rodgers (dalam Carter & Mc Goldrick, 1981), perceraian adalah gangguan pada daur kehidupan keluarga, di mana dapat menimbulkan perasaan yang mendalam dan kehilangan anggota keluarga.
3. King (1992), perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan secara hukum dan permanen. Tindakan hukum ini akan mempengaruhi hak asuh atas anak, hak kunjungan dari orang tua, pembagian harta benda, dan tunjangan anak. Perceraian yang biasanya didahului oleh konflik antar pasangan suami istri merupakan suatu proses kompleks yang mengawali berbagai perubahan emosi, psikologis dan lingkungan.
4. Handoko (dalam Anas, 2004), perceraian bagi anak adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri” anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam.

B. Landasan Hukum

Pada prinsipnya Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit adanya perceraian tetapi tidak berarti Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama sekali tentang tata cara perceraian bagi para suami istri yang akan mengakhiri ikatan perkawinannya dengan jalan perceraian.

Pemeriksaan perkara perkawinan khususnya perkara perceraian, berlaku hukum acara khusus, yaitu yang diatur dalam (Arto, 2000:205-206).
1. Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Pasal 54-91);
3. Peraturan Pemerintah Nomor  9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim;
5. Peraturan-peraturan yang lain yang berkenaan dengan sengketa perkawinan;
6. Kitab-kitab fiqh Islam sebagai sumber penemuan hukum;
7. Yurisprudensi sebagai sumber hukum.

Perceraian yang terjadi karena keputusan Pengadilan Agama dapat  terjadi karena talak atau gugatan perceraian serta telah cukup adanya alasan yang ditentukan oleh undang-undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-istri tersebut (Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 KHI).

Pasal 114 KHI menjelaskan bahwa perceraian bagi umat Islam dapat terjadi karena adanya permohonan talak dari  pihak suami atau yang biasa disebut dengan cerai talak ataupun  berdasarkan gugatan dari pihak istri atau yang biasa disebut dengan cerai gugat.

C. Penyebab Perceraian

Alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang dan menjadi landasan terjadinya perceraian baik melalui cerai talak maupun cerai gugat tertuang dalam Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 116 KHI.

Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Lebih lanjut mengenai alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar taklik talak;
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

D. Proses Pemeriksaan Perkara Perceraian

Proses pemeriksaan perkara perdata termasuk perkara perceraian setidak-tidaknya terdiri dari delapan kali sidang  yang meliputi:
1. Sidang 1 Perceraian
Sidang 1 yaitu pemeriksaan identitas para pihak, pembacaan surat gugatan dan anjuran perdamaian, artinya sebelum pembacaan surat gugatan, hakim wajib berusaha secara aktif dan bersungguh-sungguh untuk mendamaikan kedua pihak.
     
Selama perkara tersebut belum diputuskan, usaha untuk mendamaikan tersebut dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan dalam sidang perdamaian. Apabila ternyata upaya damai tidak berhasil maka sidang dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.

Pada tahap pembacaan gugatan maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi yang tercantum dalam dalil gugat dan petitum sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan atau objek pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari lingkup yang termuat dalam surat gugatan.

2. Sidang 2 Perceraian
Sidang 2 yaitu jawaban tergugat, hal ini terjadi apabila tidak tercapai perdamaian pada tahapan sidang pertama.

Dalam jawaban tergugat, penyampaiannya dapat berupa pengakuan yang membenarkan isi dari gugatan penggugat baik secara keseluruhan maupun sebagian dan dapat pula berupa bantahan atas isi gugatan disertai alasan-alasannya atau bahkan mengajukan gugatan rekonvensi atau gugat balik.

3. Sidang 3 Perceraian
Sidang 3 yaitu Replik, artinya bahwa penggugat dapat menegaskan kembali gugatannya yang disangkal oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas serangan-serangan oleh tergugat.

Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dali-dalilnya atau mungkin juga penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban atau bantahan tergugat.

4. Sidang 4 Perceraian
Sidang 4 yaitu Duplik, artinya merupakan tahap bagi tergugat untuk menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.

Replik dan duplik (jawab-jinawab) dapat dilakukan berulang-ulang sampai ada titik temu antara penggugat dan tergugat dan apabila hakim telah memandang cukup  tetapi masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh pengugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan kebenarannya maka agenda dilanjutkan dengan tahap pembuktian.

5. Sidang 5 Perceraian
Sidang 5 yaitu tahap pembuktian yaitu tahap bagi penggugat untuk mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatannya. Demikian juga terhadap tergugat, yang diberi kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya atau sanggahannya.

6. Sidang 6 perceraian
Sidang 6 yaitu kesimpulan akhir dari para pihak. Pada tahap ini baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pendapat masing-masing.           
              
7. Sidang 7 Perceraian
Sidang 7 yaitu tahap putusan. Dalam tahap ini hakim merumuskan duduk perkara dan pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan hakim mengenai perkara yang diperiksanya. Putusan hakim ini adalah untuk mengakhiri sengketa para pihak.

E. Jenis Perceraian

1. Cerai hidup - Perceraian dikarenakan suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
2. Cerai mati - Perceraian yang diakibatkan salah satu pasangan telah meninggal dunia.

F. Dampak Perceraian

Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah mempunyai anak maupun yang belum sebagai berikut:
1. Dampak terhadap suami atau istri
Akibat perceraian adalah suami-istri hidup sendiri-sendiri, suami atau istri dapat bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekuensi yuridis yang berhubungan dengan status suami, istri dan anak serta terhadap harta kekayaannya. Dengan adanya perceraian akan menghilangkan harapan untuk mempunyai keturunan yang dapat dipertanggungjawabkan perkembangan masa depannya.

Perceraian mengakibatkan kesepian dalam hidup, karena kehilangan pasangan hidup, karena setiap orang tentunya mempunyai cita-cita supaya mendapatkan pasangan hidup yang abadi. Jika pasangan yang diharapkan itu hilang akan menimbulkan kegoncangan, seakan-akan hidup tidak bermanfaat lagi, karena tiada tempat untuk mencurahkan dan mengadu masalah-masalah untuk dipecahkan bersama. Jika kesepian ini tidak segera diatasi akan menimbulkan tekanan batin, merasa rendah diri, dan merasa tidak mempunyai harga diri lagi.

2. Dampak terhadap anak
Perceraian dipandang dari segi kepentingan anak yaitu keluarga bagi anak-anaknya merupakan tempat perlindungan yang aman, karena ada ibu dan bapak, mendapat kasih sayang, perhatian, pengharapan, dan lain-lain. Jika dalam suatu keluarga yang aman ini terjadi perceraian, anak-anak akan kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat menghambat pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akibat lain telah adanya kegoncangan jiwa yang besar, yang langsung dirasakan oleh anak-anaknya meskipun anak-anak ini dijamin kehidupannya dengan pelayanan yang baik oleh kerabat-kerabat terpilih. Akan tetapi, kasih sayang ibunya sendiri dan bapaknya sendiri akan berbeda dan gantinya tidak akan memberikan kepuasan kepadanya.

3. Dampak terhadap harta kekayaan
Apabila terjadi perceraian maka perikatan menjadi putus, dan kemudian dapat diadakan pembagian kekayaan perikatan tersebut. Jika ada perjanjian perkawinan pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut. Dalam suatu perceraian dapat berakibat terhadap harta kekayaan yaitu harta bawaan dan harta perolehan serta harta bersama.

Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment