Pengertian Workaholic, Tanda, dan Perbedaannya dengan Pekerja Keras
Workaholic (Gila Kerja) |
A. Pengertian Workaholic (Gila Kerja)
Workaholic (workaholism/gila kerja) adalah kondisi di mana seseorang merasakan paksaan atau kebutuhan dari dalam diri untuk terus bekerja yang tak dapat dikendalikan (American Psychology Association/APA). Kecanduan untuk terus-menerus bekerja ini diciptakan dari dalam diri sendiri, bukan karena faktor lainnya.
Terdapat banyak alasan mengapa seseorang menjadi workaholic, namun biasanya adalah untuk lari dari masalah yang sedang dihadapi. Seorang workaholic biasa ‘mengubur diri’ di dalam pekerjaan, sehingga mereka terkadang sampai lupa bahwa hidup bukan hanya untuk bekerja saja.
Makna workaholism berbeda dengan kerja keras, salah satu hal yang membedakan apa itu workaholic dan pekerja keras adalah perasaan ketika bekerja. Pekerja keras biasanya menghabiskan banyak waktu untuk bekerja karena senang dengan pekerjaannya, apa yang dihasilkan, dan alasan lainnya.
Sementara workaholic cenderung tidak begitu menikmati apa yang dilakukan. Meskipun begitu, mereka tetap bekerja karena dorongan dari dalam diri seakan memaksa mereka untuk terus bekerja. Rasa candu dan kebutuhan untuk terus bekerja yang tidak mengenal waktu ini tentunya dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan juga mental.
Workaholic bisa menyebabkan rasa cemas berlebihan, depresi, insomnia, penyalahgunaan obat, bahkan sampai penyakit jantung.
B. Tanda Workaholic (Gila Kerja)
1. Pekerjaan Adalah Prioritas Utama
Salah satu tanda workaholic adalah selalu mengutamakan pekerjaan. Biasanya, orang workaholic selalu bekerja, tidak mengenal waktu dan tempat. Di mana pun dan kapan pun, mereka akan terus bekerja. Bahkan, ketika diminta oleh atasan untuk bekerja di akhir pekan atau tanggal merah, seorang workaholic akan segera mengerjakannya. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan atau dorongan dalam diri mereka untuk selalu bekerja.
2. Stres Ketika Tidak Bekerja
Dengan adanya dorongan bekerja tersebut, seorang workaholic akan merasa stres ketika tidak sedang atau tidak bisa bekerja. Akibatnya, mereka terus mencari hal lainnya yang dapat dikerjakan. Atau, bahkan meminta pekerjaan tambahan.
3. Mudah Sakit
Seperti yang sudah dijelaskan, seorang workaholic tak mengenal waktu untuk bekerja. Mulai dari pagi, sore, atau tengah malam pun mereka selalu meluangkan waktu untuk bekerja. Padahal, badan memerlukan istirahat yang cukup. Hal ini dapat menyebabkan kesehatan mudah menurun dan mudah sakit.
4. Menjadikan Kerja Sebagai Pelarian
Tanda seorang workaholic selanjutnya adalah menjadikan pekerjaan sebagai pelarian. Mereka menganggap bahwa bekerja dapat mengurangi rasa bersalah, cemas, atau depresi. Tapi, alih-alih mengatasi kecemasan yang dihadapi, seorang workaholic justru bekerja untuk mengalihkan diri dari semua masalah yang ada. Cara ini justru dapat membuat perasaan yang dipendam semakin menumpuk, dan meningkatkan rasa stres.
5. Tak Memiliki Kehidupan Pribadi
Seorang workaholic cenderung tidak memiliki waktu untuk kehidupan pribadi. Karena, semua waktu yang dimiliki akan diisi dengan bekerja. Intinya, tidak ada work life balance, karena pekerjaan adalah prioritas utama.
6. Tidak Menyadari Kondisi Dirinya
Kebanyakan dari workaholic tidak menyadari akan kondisi yang ia alami dan dampak yang mungkin terjadi. Justru, workaholic akan mengaku bahwa mereka hanya bekerja keras saja. Dan, memberi berbagai alasan seperti cara ini dilakukan untuk mendapat promosi jabatan, atau kebaikan gaji.
C. Perbedaan Workaholic (Gila Kerja) dengan Pekerja Keras
1. Perilaku Kerja
Hal utama pembeda workaholic dan pekerja keras adalah pemaknaan akan bekerja yang mendorong perilaku dalam bekerja itu sendiri. Seorang workaholic atau workaholism lebih mengarah kepada perilaku negatif akan bekerja. Sebagai mana arti harfiahnya, workaholic adalah pecandu kerja yang berarti bekerja sudah menjadi candu baginya. Seorang yang kecanduan artinya ia sudah tidak bisa lagi mengontrol dirinya sendiri.
Dalam artikel di Harvard Business Review mengungkapkan bahwa workaholic memiliki dorongan kompulsif batin untuk bekerja, berpikir tentang bekerja terus menerus, serta merasa bersalah dan gelisah ketika tidak bekerja. Efeknya, penelitian menunjukkan bahwa workaholism lebih cenderung mengalami keluhan kesehatan, meningkatkan risiko sindrom metabolik, masalah tidur, masalah sinisme, emosional, hingga depresi.
Sedangkan pekerja keras lebih kepada perilaku positif akan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras bekerja secara serius untuk menghasilkan kualitas sebaik mungkin dengan tetap mengontrol diri, kapan bekerja dan kapan beristirahat. Pada akhirnya, perilaku pekerja keras tidak begitu berdampak pada kesehatan dirinya. Sebagaimana dalam artikel yang sama dari Harvard Business Review, penelitian menunjukkan bahwa seorang pekerja keras yang bekerja berjam-jam tetapi tidak mengalami masalah akan kesehatan, mereka bisa tidur pulas dan di pagi hari tetap merasa segar.
2. Efektivitas dan Efisiensi
Secara kualitas kerja, workaholic ataupun pekerja keras mungkin sama baiknya, tetapi akan sangat berbeda dalam kemampuannya dalam melakukan efektivitas kerja dan efisiensi waktu. Jika ada tugas yang harus diselesaikan satu minggu, seorang workaholic mungkin akan menghabiskan 15 jam perhari untuk menyelesaikannya. Tetapi bagi pekerja keras, mereka bisa saja menyelesaikannya hanya dengan bekerja normal 8 jam seharinya. Dengan kualitas hasil kerja yang sama, dapat jelas terlihat bahwa pekerja keras bisa mengoptimalkan apa yang dia miliki. Efektivitas kerja dan efisiensi waktu jelas lebih unggul seorang pekerja keras.
3. Motivasi
Setiap apa yang dilakukan tentu memiliki motivasinya sendiri. Begitu pun dalam bekerja. Bagi seorang workaholic, bekerja cenderung hanya untuk kepuasan pribadi yang bahkan tak sadar dilakukannya. Mereka bekerja terlalu ambisius dan tidak peduli apakah pekerjaannya itu bisa memperbaiki kariernya atau tidak.
Berbeda dengan pekerja keras, mereka bekerja karena alasan tertentu. Oleh karena memiliki alasan jelas, mereka bisa membatasi diri. Ketika motivasi sudah tercapai, mereka bisa berhenti akan satu pekerjaan tersebut dan memulai untuk pekerjaan baru dengan motivasinya sendiri. Bisa juga dikatakan, seorang pekerja keras lebih realistis dalam menentukan motivasinya.
4. Sosialisasi
Tak berkaitan dengan sifat introvert atau ekstrovert, kemampuan bersosialisasi yang dimaksudkan adalah kearifan dalam membagi waktu kapan bekerja dan kapan berinteraksi dengan teman atau keluarga. Bagi workaholic, hidupnya adalah bekerja dan tidak ada hal lain yang lebih penting dari itu. Jadilah seorang workaholic hampir tidak pernah bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya.
Tentu berbeda dengan seorang pekerja keras. Mereka bisa begitu fokus mengerjakan tugas, tetapi tetap bisa meluangkan waktu untuk bersosialisasi dengan teman dan keluarga. Hal ini kembali berkaitan dengan kemampuannya mengelola waktu sehingga pekerjaan bisa dikerjakan sesuai porsinya.
5. Perfeksionis
Pernahkah terpikir siapa yang lebih perfeksionis antara workaholic dan pekerja keras? Ya, tentu saja workaholic bisa jauh lebih perfeksionis karena hidupnya didedikasikan untuk bekerja. Karakternya yang terlalu ambisius dan tak mau salah dalam mengerjakan tugas, menjadikan pekerjaannya begitu detail.
Tetapi hal ini tidak berarti seorang pekerja keras tidak bisa perfeksionis. Mereka tetap bisa berkarakter perfeksionis namun dalam kondisi yang lebih realistis. Pekerja keras menyadari betul akan tanggung jawabnya tetapi juga memahami kondisi dirinya sendiri.
Dari berbagai sumber
Post a Comment