Pengertian Self Identity (Identitas Diri), Dimensi, Aspek, dan Faktornya
Self Identity (Identitas Diri) |
A. Pengertian Self Identity (Identitas Diri)
Self identity (identitas diri) adalah kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberi arti pada dirinya sebagai seorang pribadi yang unik, memiliki keyakinan yang relatif stabil, serta memiliki peran penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Identitas diri melibatkan suatu pengakuan dan perasaan yakin akan identitas personal individu yang berbeda dengan orang lain di sekitarnya, hal ini dilakukan demi mendapatkan arti atau makna untuk kehidupannya sendiri.
Identitas diri juga merupakan suatu kesadaran dan kesinambungan diri dalam mengenali dan menerima kekhasan pribadi, peran, komitmen, orientasi dan tujuan hidup sehingga individu tersebut mampu berperilaku sesuai kebutuhan dirinya dan harapan masyarakat. Demikian Bernstein da et al, (1994) mendefinisikan self-identity sebagai sebuah penilaian terintegrasi seorang individu terhadap citra dirinya sendiri sebagai seseorang yang unik, yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Fearon (dalam Mulyono, 2007) menyimpulkan tiga pengertian dasar yang sering digunakan oleh para ahli dalam mendefinisikan identitas diri di antaranya,
1. Keanggotaan dalam sebuah komunitas yang menyebabkan seseorang merasa terlibat, termotivasi, berkomitmen dan menjadikannya rujukan atau pertimbangan dalam memilih dan memutuskan sesuatu berdasarkan hal yang normatif. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi seseorang dengan lingkungan sosial. Identitas diri yang digunakan seseorang untuk menjelaskan tentang diri biasanya juga berisikan identitas sosial.
2. Identitas diri juga merujuk pada konsep abstrak dan relatif dan jangka panjang yang ada dalam pikiran seseorang tentang siapa dirinya, menunjukkan eksistensi dan keberhargaan serta membuat dirinya menjadi “seseorang”. Karena itu identitas diri biasanya juga berisi harga diri seseorang/self esteem. Konsep ini menunjukkan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagai motivator perilaku dan menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri.
3. Identitas diri bukan hanya terdiri sesuatu yang ‘terbentuk’ tapi juga termasuk juga potensi dan status bawaan sejak lahir, misalnya jenis kelamin dan keturunan
Self Identity (Identitas Diri) Menurut Para Ahli
1. Erikson (1968), identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidup serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan beberapa hal.
2. Marcia (1993), identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.
3. Kartono dan Gulo (dalam Purwanti, 2013), identitas diri merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah dirinya sebenarnya dan bagaimanakah peranannya dalam kehidupan nanti.
4. Hogg & Abraham, identitas diri adalah konsep yang digunakan oleh orang-orang untuk menyatakan tentang siapakah mereka, orang macam apa mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain.
5. Jenkis, identitas diri merujuk pada cara yang digunakan oleh individu dan kelompok dilihat diri hubungan sosial mereka dengan kelompok lain.
6. Wendt, identitas diri adalah pengertian dan harapan yang relatif spesifik dan stabil tentang diri.
7. Taylor, identitas diri didefinisikan sebagai komitmen dan identifikasi yang menyediakan kerangka yang memungkinkan seseorang untuk mencoba memilih, mengevaluasi apa yang baik, penting, memungkinkan dilakukan atau apa yang pantas dan tepat atau sebaliknya.
B. Dimensi Self Identity (Identitas Diri)
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) identitas melibatkan tujuh dimensi di antaranya,
1. Genetik. Hal ini berkaitan dengan suatu sifat yang diwariskan oleh orang tua pada anaknya. Orang tua sangat mempengaruhi sifat yang akan dimiliki anaknya di kemudian hari. Sifat inilah yang akan memberikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, terutama di dalam menjalankan kehidupannya.
2. Adaptif. Identitas adalah penyesuaian remaja mengenai keterampilan-keterampilan khusus, dan bagaimana remaja tersebut dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Sejauh mana keterampilan atau kemampuannya tersebut dapat diterima oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya ataukah masyarakat tidak menerima keterampilan yang dimilikinya.
3. Struktural. Hal ini terkait dengan perencanaan masa depan yang telah disusun oleh remaja, atau dengan kata lain remaja telah mempersiapkan kehidupan di masa depannya. Namun bukan berarti tidak ada hambatan dalam menjalankan rencana masa depannya ini. Sering kali apa yang telah direncanakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan bisa jadi rencana tersebut mengalami suatu kemunduran (deficit structural) atau bahkan bisa tidak sama sekali terwujud.
4. Dinamis. Proses ini muncul dari identifikasi masa kecil individu dengan orang dewasa yang kemudian dapat membentuk suatu identitas yang baru di masa depannya ataukah sebaliknya, proses identifikasi tersebut tidak berpengaruh pada identitasnya melainkan yang berpengaruh adalah pemberian peran dari masyarakat terhadap remaja.
5. Subjektif atau berdasarkan pengalaman. Individu yang mempunyai pengalaman akan berbeda dengan individu yang sama sekali belum memiliki pengalaman. Erikson (dalam Santrock, 2003) menjelaskan bahwa individu yang telah memiliki pengalaman sebelumnya, individu tersebut akan merasakan suatu kepastian dalam dirinya. Dengan adanya pengalaman maka akan banyak alternatif yang dapat kita jadikan pedoman untuk melangkah dengan lebih yakin ke arah depan atau semakin banyak pengalaman maka akan semakin timbul antisipasi dalam melakukan berbagai hal yang belum kita ketahui secara pasti konsekuensinya.
6. Timbal balik psikososial. Erikson (dalam Santrock, 2003) menekankan hubungan timbal balik antara remaja dengan dunia dan masyarakat sosialnya. Perkembangan identitas tidak hanya terbentuk oleh diri kita sendiri melainkan melibatkan hubungan dengan orang lain, komunitas dan masyarakat.
7. Status eksistensial. Erikson (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa remaja mencari arti dalam hidupnya sekaligus arti dari hidup secara umum. Dalam hal ini remaja ingin merasakan apa yang dinamakan dengan makna hidup, ingin diakui keberadaannya di dalam masyarakat dengan peran sosial yang dijalankan serta keterampilan yang dimilikinya.
C. Aspek Self Identity (Identitas Diri)
Aspek-aspek identitas diri menurut Guneri dkk (dalam Purwanti, 2013) di antaranya,
1. Sosial, keanggotaan dalam kelompok dan pemenuhan peran, merupakan aspek utama dalam pembentukan identitas sosial remaja. Keanggotaan dalam kelompok merupakan fasilitas penting dalam menunjang validasi diri. Penerimaan teman sebaya juga memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan identitas diri remaja.
2. Fisik, penampilan fisik memiliki pengaruh penting terhadap identitas diri. Untuk sebagian remaja penilaian dari orang lain berkaitan dengan penampilan fisik mereka memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan penilaian diri mereka sendiri karena hai ini mempengaruhi persepsi mereka.
3. Personal, meliputi karakteristik kepribadian seperti harga diri, kepercayaan diri dan kontrol diri, selain itu juga berhubungan dengan identitas jenis 23 kelamin yang kuat, di mana pria merasa lebih puas dengan identitas jenis kelamin mereka.
4. Keluarga, memegang peranan penting terhadap pembentukan identitas diri dan perilaku remaja, orang tua adalah tokoh yang paling penting dalam perkembangan identitas diri remaja.
Adapun aspek identitas diri menurut Marcia (1966) mencakup 4 konsep status identitas di antaranya,
1. Achievement Identity. Seorang individu dikatakan telah memiliki identitas, jika dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun kenyataannya ia harus mengalami kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari upaya untuk mewujudkan protes dirinya.
2. Foreclosure Identity. Identitas itu ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiliki komitmen atau tekad. Sehingga individu sering kali berangan-angan tentang apa yang ingin dicapai dalam hidupnya, tetapi sering kali tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme pertahanan diri seperti; rasionalisasi, regresi pembentukan reaksi dan sebagainya.
3. Moratorium Identity. Identitas ini ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat (tekad) untuk menyelesaikannya masalah krisis tersebut. Ada dua kemungkinan tipe individu ini di antaranya,
a. Individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan, tetapi ia tidak mau menyelesaikannya.
b. Orang yang memang tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak memiliki komitmen.
4. Diffusion Identity. Orang tipe ini, yaitu orang mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki tekad untuk menyelesaikannya (Marcia, 1966).
D. Faktor Self Identity (Identitas Diri)
Soetijiningsih (2004) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas seseorang di antaranya,
1. Keluarga
Orang tua adalah sosok yang penting dalam perkembangan identitas remaja (Santrock, 2003). Salah satu faktor yang berkaitan dengan perkembangan identitas remaja adalah iklim keluarga. Iklim keluarga yang sehat, yaitu interaksi sosio emosional di antara anggota keluarga (ibu-ayah, orang tua-anak, dan anak- anak) sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak berjalan dengan harmonis dan penuh kasih sayang, remaja akan mampu mengembangkan identitasnya secara realistik dan stabil (stabil). Sebaliknya, dengan iklim keluarga yang kurang sehat, remaja akan mengalami kegagalan dalam mencapai identitasnya secara matang, mereka akan mengalami kebingungan, konflik atau frustrasi (Yusuf, 2011).
2. Reference group
Reference group merupakan kelompok-kelompok yang terbentuk ketika memasuki masa remaja. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group) (Seotijiningsih. 2004). Misalnya kelompok agama atau kelompok yang berdasarkan kesamaan minat tertentu. Teman sebaya merupakan kelompok acuan bagi seorang anak untuk mengidentifikasi dirinya dan untuk mengikuti standar kelompok. Sejak seorang remaja menjadi bagian dari kelompok teman sebaya tersebut, identitas dirinya sudah mulai terbentuk, karena teman sebaya membantu remaja untuk memahami identitas diri (jati/diri) sebagai suatu hal yang sangat penting (Yusuf, 2011). Melalui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuan bagi dirinya.
3. Significant other
Yaitu merupakan seorang yang sangat berarti, seperti sahabat, guru, kakak, bintang olahraga atau bintang film atau siapa pun yang dikagumi. Orang- orang tersebut menjadi tokoh ideal (idola) karena mempunyai nilai-nilai ideal bagi remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan identitas diri, karena pada saat ini remaja giat-giatnya mencari model. Tokoh ideal tersebut dijadikan model atau contoh dalam proses identifikasi. Remaja cenderung akan menganut dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ada pada idolanya tersebut ke dalam dirinya. Sehingga remaja sering berperilaku seperti tokoh idealnya dengan meniru sikap maupun perilakunya dan bahkan merasa seolah-olah menjadi seperti mereka (Seotjiningsih, 2004).
Dari berbagai sumber
Post a Comment