Pengertian Community Sentiment, Unsur, Pendekatan, dan Place Attachment
Community Sentiment |
A. Pengertian Rasa Kedaerahan Masyarakat (Community Sentiment)
Rasa kedaerahan masyarakat (community sentiment) adalah perasaan sekelompok manusia penghuni, yaitu suatu komunitas atau masyarakat, terhadap tempat tinggalnya dengan adanya ikatan emosional akibat pengalaman kehidupan dan penghidupan yang dijalaninya. Keterikatan, keterkaitan dan pertalian emosi ini lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi ekologi, geografi, lingkungan terbangun dan lingkungan sosial tempat tinggalnya.
B. Unsur Rasa Kedaerahan Masyarakat (Community Sentiment)
Unsur rasa kedaerahan masyarakat (community sentiment) di antaranya,
1. Unsur Seperasaan
Unsur seperasaan merupakan unsur yang menyebabkan seseorang untuk berusaha mengidentifikasi dirinya seperti orang-orang yang tergabung dalam kelompok tersebut sehingga hal ini mendorong terhambatnya bentuk-bentuk perubahan sosial anggota kelompok lain untuk menyebut dirinya sebagai bagian dari komunitas tersebut. Adanya perasaan dalam kelompok mendorong terciptanya solidaritas antar anggota kelompok jika terdapat kepentingan yang sama dari anggota tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang utama.
2. Unsur Sepenanggungan
Setiap anggota sangat sadar akan peran dan fungsinya dalam kelompok tersebut. Keadaan yang terjadi di dalam suatu masyarakat akan sangat memungkinkan anggota kelompok dalam menjalankan peranannya sehingga hal ini mendorong anggota kelompok dalam mempunyai kedudukan yang sejajar dan pasti dalam unsur-unsur komunitas tersebut.
3. Unsur Saling Memerlukan
Unsur saling memerlukan mempengaruhi setiap anggota suatu komunitas untuk mencegah terjadinya disintegrasi sosial saling merasakan sebuah ketergantungan terhadap komunitas yang diikutinya baik dalam segi material ataupun spiritual sehingga hal ini membuat anggota komunitas menjadi saling memerlukan.
C. Pendekatan Rasa kedaerahan masyarakat (Community Sentiment)
secara umum rasa kedaerahan masyarakat ini dapat dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu satisfaksi (kepuasan) masyarakat dalam bertempat tinggal (bermukim), ikatan rasa emosional masyarakat terhadap tempat tinggalnya (community attachment), dan identitas masyarakat dalam suatu lingkungan permukiman. Ketiga pendekatan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan ikatan afektif antara manusia dengan tempat tingalnya (place attachment) (Hummon:1990).
1. Satisfaksi (Kepuasan) Masyarakat
Satisfaksi (kepuasan) dalam konteks bertempat-tinggal (bermukim) dapat dibagi menjadi dua cakupan di antaranya satisfaksi individu dalam kelompok komunitas atau masyarakat (satisfaksi komunitas) dan satisfaksi individu atau komunitas dalam area daerah metropolis (satisfaksi lingkungan). Penilaian terhadap tingkat satisfaksi masyarakat dapat dilihat dari bagaimana masyarakat, baik sebagai individu maupun komunitas, yaitu dengan mengevaluasi tempat bermukim mereka melalui struktur dan pola kehidupan sosial serta kualitas kehidupan dan perasaan masyarakat terhadap lingkungannya.
Tingkatan satisfaksi masyarakat terhadap permukimannya sangat dipengaruhi oleh adanya:
a. Ikatan perkawinan serta peluang, kesempatan dan kelayakan tempat pekerjaan;
b. Pengalaman kehidupan bertetangga;
c. Keberadaan berbagai sarana dan prasarana permukiman, seperti misalnya aksesibilitas dan fasilitas rekreasi maupun belanja;
d. Kualitas hunian dan lingkungannya, misalnya dengan adanya kepastian kepemilikan rumah, rumah yang besar/luas, pencapaian atau pola permukiman cul de sac;
e. Ukuran, bentuk, tipe dan kepadatan penduduk;
f. Karakteristik sosial dan ekonomi penduduk di lingkungannya;
g. Persepsi masyarakat terhadap lingkungannya secara bervariasi, baik secara ekologi, sosial maupun fisik lingkungannya;
h. Perasaan puas terhadap komunitas mereka sendiri dan lingkungan lokalnya; serta
i. Lokalitas masyarakat, ketercukupan layanan dari pemerintah dan kualitas institusi lokal.
2. Perasaan Kedaerahan (Community Attachment)
Community attachment merupakan gambaran pemahaman tentang bagaimana perasaan penduduk terhadap mobilitas bermasyarakat dan perasaan berada ‘di rumah’ (at home) pada lingkungan pemukimannya. Konsep community attachment ternyata terkait erat dengan satisfaksi dan perasaan kedaerahan masyarakat. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan ikatan perasaan manusia dengan tempat tinggalnya di antaranya,
a. Lama bermukim dan pengalaman hidup yang terjadi;
b. Kondisi sosial kemasyarakatan, meliputi hubungan persahabatan, kekerabatan, keorganisasian dan pola belanja sehari-hari;
c. Kualitas hunian dan kepemilikannya; serta
d. Rasa aman (ketidaktakutan terhadap suatu tindak kejahatan) yang berdampak pada satisfaksi terhadap kualitas fisik lingkungan.
Community attachment cenderung berbeda untuk setiap orang, di mana mereka yang mempunyai ikatan kedaerahan hampir bisa dipastikan dapat membentuk ikatan perasaan dengan tempat tinggalnya. Namun demikian, berbeda dari satisfaksi bermasyarakat, community attachment akan lemah bila dikaitkan dengan kelas sosial yang lebih tinggi sebagaimana kasus-kasus yang terjadi di perumahan formal di perkotaan.
Akhirnya, perasaan attachment dalam suatu komunitas atau masyarakat merupakan sesuatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor ekologi, ukuran dan tipe masyarakat, strata sosial dalam masyarakat serta kualitas lingkungan lokal dan persepsi penduduk terhadap kualitas lingkungan tersebut. Community attachment juga merupakan integrasi sosial manusia dengan tempat tinggalnya, misalnya lama bermukim dan tahapan siklus kehidupan.
3. Identitas Masyarakat
Identitas masyarakat adalah simbol-simbol kedaerahan yang dapat menunjukkan suatu tanda diri (self symbol) dari suatu masyarakat yang diilhami dari nilai-nilai pribadi dan sosial, di mana nilai pribadi akan mempengaruhi rasa kebanggaan sedangkan nilai sosial akan mempengaruhi ikatan emosional antara manusia dengan tempat tinggalnya. Identitas masyarakat dapat ditinjau dari empat fenomena di antaranya,
a. Identitas masyarakat mengubah setting fisik lingkungan menjadi setting perasaan sebagai simbol, misalnya: identitas masyarakat yang diwujudkan dalam pelaksanaan ritual dan cerita-cerita rakyat ataupun timbulnya perasaan ‘insidedness’ (perasaan berada di dalam komunitasnya sendiri) yang memadu rasa kedaerahan dengan identitas.
b. Identitas masyarakat dibentuk dari nilai-nilai kebersamaan, misalnya: tradisi dari setiap permukiman yang berbeda dihimpun dalam kebersamaan identitas, keunikan identitas yang diakibatkan oleh adanya penduduk pendatang, ataupun adanya perbedaan identitas kota kecil (murah hati, rukun, ramah, alami, menyatu, tertutup, ketinggalan jaman) dan identitas kota besar (tidak sopan, tidak peduli, terlalu materialistis, liberal, terbuka, kreatif).
c. Identitas masyarakat dibentuk melalui kondisi lingkungan yang menguatkan ikatan perasaan terhadap masyarakat dan tempat tinggalnya, misalnya: identitas dua komunitas yang berbeda akibat kekontrasan lingkungan pemukiman, identitas yang dihasilkan dari peran lingkungan terbangun atau pemukiman, maupun identitas yang dibentuk oleh pengaruh religi yang dibangun oleh pemuka masyarakat.
d. Identitas masyarakat merupakan hubungan yang kompleks antara rasa kedaerahan dan mobilitas masyarakat, misalnya: identitas masyarakat yang terbentuk akibat adanya pemaksaan relokasi pemukiman akibat bencana alam yang merubah setting lingkungan hidupnya maupun adanya perpindahan penduduk ke lokasi lain yang akhirnya ‘merusak’ identitas masyarakatnya atau justru membentuk identitas yang baru.
D. Place Attachment
Place attachment adalah perasaan manusia terhadap tempat tinggalnya yang melibatkan seluruh pengaruh dari afeksi dan emosi, pengetahuan dan kepercayaan serta perilaku dan tingkah laku manusia dalam proses bermukim (Porshansky et al., 1983 dalam Hummon, 1990). Dengan demikian, bila ditinjau dari psikologi lingkungan permukiman, maka akan terkait erat antara place attachment dengan konsep tentang home.
Beberapa definisi tentang place attachment di antaranya,
1. Asosiasi afektif antara individu dengan lingkungan kediamannya;
2. Asosiasi yang menciptakan rasa aman dan nyaman;
3. Ikatan afektif antara manusia dengan tempat tinggalnya atau disebut pula topophilia (Tuan, 1977); Serta
4. Kondisi kesejahteraan manusia secara psikologis dengan keberadaan dalam suatu tempat atau kondisi tertekan akibat ke-tidaktepat-an suatu tempat.
Sesuai dengan sifat place attachment yang dipengaruhi oleh karakteristik generik dan geografik, maka intensitas attachment to place dapat dijabarkan menjadi beberapa tingkatan (Rubenstein, 1984 dalam Hummon, 1990), yaitu:
1. Manusia yang hanya tahu suatu tempat dan memikirkannya tanpa mengalami dan melalui perasaan/memori yang kuat (symbolic attachment).
2. Manusia memiliki memori tentang suatu tempat yang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman pribadinya (personalized attachment).
3. Suatu tempat yang memberikan memori emosional atau secara psikologis melibatkan perasaan manusia melalui berbagai cara (extention attachment).
4. Merupakan pengejawantahan antara manusia dengan tempat tinggalnya, di mana batas antara diri dan lingkungan menjadi kabur, sehingga identitas diri dan tempat menjadi satu (embodiment attachment).
Keterkaitan antara place attachment dengan faktor sosial-budaya (sosio-kultural) dapat menghasilkan suatu tipologi cultural place attachment yang merupakan ikatan simbolik antara manusia dengan kultur budaya wilayah/ lahan di mana mereka bertempat tinggal, yaitu:
1. Secara sosio-kemasyarakatan (social aspects), yaitu adanya ikatan/ pertalian manusia dengan wilayah/lahan tempat tinggalnya melalui identifikasi sejarah, silsilah dan garis keturunan keluarga/komunitas selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad.
2. Secara sosio-ekonomi-politis (material aspects), yaitu adanya ikatan/pertalian manusia dengan wilayah/lahan tempat tinggalnya akibat adanya penggusuran, resettlement, bencana alam atau perusakan komunitas, sehingga putusnya ikatan keluarga dan sosial di tempat yang baru serta adanya ikatan/pertalian manusia dengan wilayah/lahan tempat tinggalnya berdasarkan pemanfaatan secara ekonomis melalui peraturan kepemilikan lahan, warisan atau unsur politis.
3. Secara sosio-ideologi (ideological aspects), yaitu adanya ikatan/ pertalian manusia dengan wilayah/lahan tempat tinggalnya melalui konsep alam yang terkait dengan religi dan mitos budaya sebagai ekspresi hidup dengan wujud fisik dari kepercayaan adat; adanya ikatan/pertalian manusia dengan wilayah/lahan tempat tinggalnya yang bersifat sementara melalui kegiatan ziarah, religi, spiritual serta peristiwa dan peringatan budaya; serta adanya ikatan/pertalian manusia dengan wilayah/lahan tempat tinggalnya melalui cerita dan penyebutan nama tempat.
Dari berbagai sumber
Post a Comment