Pengertian Child Abuse, Gejala, Faktor, Bentuk, dan Efeknya

Table of Contents
Pengertian Child Abuse atau Kekerasan Terhadap Anak
Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)

A. Pengertian Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)

Child abuse atau kekerasan terhadap anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang menimbulkan ancaman bagi tumbuh kembang anak dan kesejahteraannya, baik dalam bentuk physical abuse (perlakuan salah secara fisik), emotional abuse (perlakuan salah secara psikis atau emosional), sexual abuse (perlakuan salah secara seksual) maupun neglect atau penelantaran. 

Child abuse dapat pula diartikan sebagai penganiayaan mental atau fisik, penganiayaan seksual atau penelantaran terhadap anak serta perampasan hak dalam mendapatkan dukungan fisik dan moral yang layak untuk perkembangan anak di bawah usia 18 tahun, yang dilakukan oleh individu yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak tersebut.

Istilah child abuse dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “perlakuan yang salah/kejam terhadap anak”, yang sering dilakukan oleh orang lain dan umumnya dilakukan oleh orang dewasa (dalam Siswanto, 2007). Kata “abuse” sendiri mempunyai banyak arti, antara lain penyalahgunaan, salah pakai, perlakuan kejam, siksaan, makian, menyalahgunakan dan berkhianat (dalam Siswanto, 2007).

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Tower, 2003) menyebutkan kasus ini dengan Caffey Syndrome. Henry (dalam Fitri, 2008) menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain.

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, meliputi gangguan fisik seperti di atas, juga gangguan emosi anak, dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Fitri, 2008).

Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak) Menurut Para Ahli
1. Suyanto (2010) menjelaskan bahwa secara teoritis child abuse dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak.
2. Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik dilakukan oleh orang tua atau orang lain. Maltreatment sendiri terdiri dari beberapa bentuk. Abuse mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan, dan neglect merupakan tidak adanya tindakan atau pengabaian pengasuhan yang dapat mengakibatkan kerusakan.
3. Reed (1991) menjelaskan bahwa perlakuan salah terhadap anak tidak hanya terbatas luka fisik saja, seperti yang dikemukakannya dalam “Quick Reference to Occupational Therapy”, bahwa perlakuan salah atau child abuse meliputi penganiayaan atau pencideraan secara fisik, emosional, seksual, dan penelantaran yang menimpa anak usia di bawah 18 tahun dan dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak.
4. Irwanto (1996) menjelaskan bahwa perlakuan salah terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan terhadap anak yang dapat mengancam kesejahteraan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, sosial psikologis, dan mental spiritual.
5. Patilima (2003) mengungkapkan bahwa perlakuan salah pada anak (child abuse) merupakan segala perlakuan terhadap anak yang akibatnya mengancam kesejahteraan dan pertumbuhan anak baik secara fisik, psikologis, sosial maupun mental.
6. Sugiarno (2007) menjelaskan bahwa child abuse adalah perbuatan semena-mena terhadap orang yang dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung anak baik secara fisik, seksual, dan emosi. 

B. Gejala Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)

Public Interest Initiated dan Hwang (dalam Siswanto, 2007) mengemukakan bahwa ciri-ciri atau tanda-tanda terjadinya child abuse di antaranya,
1. Gambaran diri yang buruk.
2. Sexsual acting out.
3. Tingkah laku agresif, mengganggu, dan kadang-kadang illegal.
4. Marah dan gusar, atau perasaan-perasaan kesedihan atau gejala-gajala lain yang merupakan tanda depresi.
5. Tingkah laku merusak diri atau menyalahgunakan diri sendiri, pikiran-pikiran bunuh diri.
6. Tingkah laku pasif atau menarik diri.
7. Kecemasan atau ketakutan, atau terkena pengalaman masa lalu dan mimpi buruk.
8. Masalah-masalah atau kegagalan-kegagalan sekolah.
9. Penyalahgunaan obat dan alkohol.
10. Terluka, terpotong dan memar.
11. Patah tulang atau luka-luka dalam.
12. Terbakar.
13. Kelaparan dan kehausan yang menetap.
14. Kehilangan minat pada sekitarnya.
15. Rambut dan kulit yang kotor.
16. Kurang pengawasan.
17. Lebih banyak pengetahuan mengenai seks dibandingkan anak-anak seusianya yang normal.
18. Mengalami masalah dalam belajar.
19. Takut pada orang tua

Sementara menurut Suyanto (2010) tanda-tanda terjadinya child abuse di antaranya,
1. Anak yang merupakan rintangan bagi orang tua atau pengasuhnya meliputi anak yang hiperaktif sampai gangguan perkembangan
2. Anak yang tidak dikehendaki
3. Lahir muda atau prematur
4. Penderita penyakit kronis atau lama masuk rumah sakit
5. Retardasi mental
6. Lahir cacat
7. Gangguan tingkah laku atau kenakalan
8. Anak-anak yang diasuh oleh keluarga yang bermasalah

C. Faktor Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)

1. Faktor Pemicu Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)
Newberger (1982) menjelaskan faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya child abuse di antaranya,
a. Adanya Permasalahan Psikologis pada Orangtua Sebagai Pelaku Kekerasan
Permasalahan psikologis disini maksudnya kepribadian yang dimiliki orangtua membuatnya berpotensi melakukan kekerasan pada anak. Lee (1978) menggambarkan beberapa sifat yang ditemukan pada orangtua pelaku child abuse di antaranya tidak dewasa, dependen, egosentrik dan penuntut.Hal ini membuat orangtua sulit mentoleransi tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan keinginannya sehingga memicu terjadinya kekerasan.

Orangtua yang abusive, seringkali memiliki pengharapan yang tidak masuk akal terhadap anak, punya kebutuhan sangat besar untuk bergantung, mengisolasi diri sendiri, dan punya pengalaman dianiaya sewaktu kecil (Newberger, 1982). Hal ini yang membuat orangtua merasa memiliki alasan melakukan kekerasan.

b. Faktor Sosiokultural
Latar belakang budaya keluarga besar memiliki pengaruh pada terjadinya child abuse. Orangtua yang biasa dididik dengan cara tertentu pada masa kecilnya cenderung menerapkan cara yang sama dalam mendidik anaknya. Hal ini didukung dengan penelitian Conger (2003) yang telah disinggung sebelumnya, bahwa anger dan agresi dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Orangtua yang masa kecilnya dididik dengan menggunakan kekerasan akan cenderung menerapkan hal yang sama pada anaknya. Selain itu, latar belakang pekerjaan orangtua juga dapat menjadi faktor pemicu. Orangtua yang memiliki latar belakang militer misalnya, dapat menurunkan budaya militer yang dimilikinya terhadap cara memperlakukan anak.

c. Pola Asuh
Pemicu lain terjadinya child abuse adalah sikap orangtua yang menerapkan hukuman fisik terhadap anak jika berbuat salah. Zigler (1982) menyatakan bahwa pengaruh paling dominan terjadinya child abuse adalah keinginan orangtua menerapkan hukuman fisik terhadap anak dengan mengatasnamakan sikap disiplin.

Orangtua membenarkan perilakunya melakukan kekerasan pada anak dengan menganggap hal itu perlu dilakukan untuk menanamkan disiplin, yang secara lebih tepat dimaksudkan agar anak mengakui otoritas mutlak yang dimiliki orangtua. Pola asuh yang dicirikan dengan sikap orangtua yang membuat peraturan sangat ketat terhadap anaknya dan tidak mensosialisasikan alasan dari dibuatnya peraturan tersebut serta cenderung menggunakan hukuman jika peraturannya dilanggar akan lebih rentan melakukan tindak child abuse.

d. Stres dalam Keluarga
Terdapat beberapa potensi stres yang dapat dialami tiap anggota keluarga dalam kehidupan rumah tangga. Stres yang muncul juga tergantung dari peran yang dimiliki masing-masing anggota keluarga. Newberger (1982) menyebutkan stres yang dapat muncul terbagi atas beberapa bentuk di antaranya,
a) Stres sosial- situasional
b) Anak sebagai sumber stres
c) Orangtua sebagai sumber stres

Stres sosial-situasional terbagi atas; faktor struktural, hubungan antar orangtua, dan hubungan antar orangtua-anak. Faktor struktural berdasarkan situasi seperti pengangguran, perpindahan tempat tinggal, dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah meningkatkan risiko terjadinya child abuse. Hubungan antar orangtua turut mempengaruhi child abuse. Straus (1980) menjelaskan bahwa pada anak yang menyaksikan kekerasan antara kedua orangtua, tingkat kemungkinan melakukan kekerasan menjadi lebih tinggi dibanding anak yang tidak pernah menyaksikan kekerasan tersebut (Straus, Gelles, & Steinmetz, dalam Newberger, 1982).

Hubungan orangtua-anak turut andil dalam terjadinya kekerasan. Komunikasi yang tidak terjalin baik meningkatkan risiko kekerasan. Stres yang disebabkan anak dapat terjadi pada kondisi anak yang memiliki kecacatan fisik, penyakit kronis, keterbelakangan mental dan temperamen yang tidak dapat ditoleransi orangtua. Stres yang disebabkan orangtua dalam hal ini pelaku abuse dapat disebabkan diantaranya perasaan kesepian dan depresi yang didukung dengan temperamen tinggi (Newberger, 1982).

2. Faktor Penyebab Child abuse
Menurut Basoeki (Suyanto, 2010) faktor penyebab mengapa banyak terjadi penganiayaan anak dan penelantaran anak di antaranya,
a. Orang tua yang dahulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan pendidikan tersebut kepada anak- anaknya.
b. Kehidupan yang penuh stres seperti terlalu padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laku agresif, dan menyebabkan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak.
c. Isolasi sosial, tidak adanya dukungan yang cukup dari lingkungan sekitar, tekanan sosial akibat situasi krisis ekonomi, tidak bekerja dan masalah perumahan akan meningkatkan kerentangan keluarga yang akhirnya akan terjadi penganiayaan dan penelataran anak.

Menurut Mu’tadin (Ikawati, 2007) faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku kekerasan pada anak di antaranya,
a. Faktor Marah. Rasa marah sering kali menjadi pemicu timbulnya perilaku agresif, meskipun perilaku semacam itu juga dapat terjadi tanpa adanya rasa marah.
b. Faktor Biologis. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi.

D. Bentuk Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)

Suyanto (2010) menjelaskan tindakan child abuse atau pelanggaran terhadap hak anak dapat terwujud setidaknya dalam empat bentuk di antaranya,
1. Kekerasan fisik
Bentuk kekerasan fisik merupakan bentuk child abuse yang terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah; menampar, menendang, memukul, meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti; luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.

2. Kekerasan psikis
Kekerasan jenis psikis tidak mudah untuk dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang tampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis psikis akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri dan martabat korban. Wujud konkret kekerasan atau pelanggaran psikis adalah; penggunaan kata-kata kasar, tidak mengindahkan atau menolak anak, tidak mendapat dukungan emosional, cinta dan kasih sayang , mempermalukan anak di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata, dan sebagainya.

3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual merupakan segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual dan melakukan penyiksaan dalam berhubungan. Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak, baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun di lingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan seksual.

4. Kekerasan ekonomi
Kekerasan jenis ekonomi sering terjadi di lingkungan keluarga, ketika orang tua mengikutsertakan anak untuk bekerja mencari uang, tidak memberikan uang kekerasan ekonomi. Kekerasan jenis ini sering terjadi pada anak-anak, ketika orang tua memaksa anak berusia di bawah umur untuk bekerja mencari uang.

American Medical Association (dalam Siswanto, 2007) juga mengkatagori bentuk-bentuk child abuse di antaranya,
1. Physical abuse (perlakuan salah secara fisik). Physical abuse terjadi ketika anak mengalami pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya.
2. Sexual abuse (perlakuan salah secara sexsual). Sexual abuse terjadi ketika anak diikutsertakan dalam situasi seksual dengan orang dewas atau anak yang lebih tua.
3. Neglect (diabaikan/dilalaikan). Neglect terjadi ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan bergizi, tempat tinggal yang memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi, pendidikan, dan keamanan.
4. Emotional abuse (perlakuan salah secara emosi). Emotional abuse terjadi ketika anak secara teratur diancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan, disalahkan atau salah penanganan secara emosional lainnya.

E. Efek Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)

Beberapa efek yang dapat diderita korban child abuse (Newberger, 1982) di antaranya,
1. Efek Psikologis
a. Berpotensi menjadi pelaku kekerasan
Orangtua yang menjadi pelaku kasus child abuse banyak yang mengaku juga mengalami kekerasan pada masa kecilnya. Hal yang dipelajari saat masa kecilnya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan berkeluarganya. Penelitian lain juga menemukan adanya hubungan positif antara pemberian hukuman fisik pada anak dengan tindak agresif. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang ditunjukkan pada anak dapat membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kejam atau keras. Anak yang tumbuh dewasa dalam keadaan demikian akan sangat rentan menunjukkan sikap kejam pula pada rumah tangga yang dimilikinya kelak.

b. Menyimpan anger yang mendalam pada pelaku kekerasan.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang abusive terbiasa melihat orangtuanya mengekspresikan anger dengan cara tertentu, yang akan mempengaruhi mereka dalam mengekspresikan anger. Tiap dari mereka akan menyalurkan anger tersebut dalam cara yang berbeda. Engel (2004), yang pernah disebutkan sebelumnya, mengekspresikan anger pada pelaku yang melakukan kekerasan padanya dengan tidak sengaja bersikap mirip dengan cara si pelaku mengekspresikan anger.

Berbeda dengan Engel, Carrie, salah seorang klien Engel yang diceritakan dalam bukunya Honor Your Anger, menunjukkan amarah pada ayahnya yang sering lepas kontrol dalam mengekspresikan rasa marah dan menyakiti dirinya membuat ia menghindari rasa marah dengan sekuat tenaga karena tidak ingin terlihat lepas kontrol seperti ayahnya.

c. Memiliki masalah attachment dengan orang lain.
Bowlby (1969) mengajukan bahwa bertahannya seorang manusia, khususnya saat bayi, bergantung pada kepemilikan figur attachment (dalam Oates, 1996). Proses attachment berkembang pada bulan dan tahun awal kehidupan, yang berkaitan erat dengan respon dan tingkah laku ibu (Oates, 1996). Ibu dan caregiver lain yang tidak berespon pada anak saat bayi atau berespon dengan tidak layak membuat anak cenderung menjadi cemas dan merasa tidak aman dalam attachment nya. Individu yang memiliki hubungan attachment yang tidak aman saat masa kecil akan cenderung kurang fleksibel, lebih pencemas dan hostile.

Mereka cenderung menjadi penyendiri dan memiliki lebih sedikit dukungan dari keluarga dan peer. Pengalaman attachment pada masa awal kehidupan memiliki peran dalam kualitas hubungan interpersonal yang dibangun pada masa kanak- kanak akhir dan masa dewasa (Oates, 1996). Individu yang sedari bayi telah mengalami child abuse akan berpotensi memiliki masalah attachment dengan orang lain, yang berdampak pada hubungan interpersonalnya.

2. Efek Kognitif
Menurunnya kecerdasan mental dan intelektual. Anak yang mengalami penganiayaan cenderung mengalami kesulitan belajar serta skor IQ, nilai pendidikan, dan performa di sekolah yang lebih rendah dibanding anak yang tidak mengalami penganiayaan (Olson & Defrain, 2006). Hal ini dapat disebabkan kecemasan dan ketidakamanan yang dirasakan anak, sehingga sulit baginya berkonsentrasi pada pendidikan.

3. Efek Sosial
Melakukan tindakan berisiko. Beberapa penelitian menunjukkan kekerasan yang dialami pada masa kecil dapat menjadi penyebab tindakan berisiko. Salah satu tindakan berisiko yang dilakukan terutama oleh remaja adalah penyalahgunaan obat-obatan seperti yang disinggung oleh Brown & Finkelhor (1986). Hal ini dilakukan anak untuk melarikan diri dari rasa cemas dan depresi disebabkan pengalaman kekerasan.

Menurut Suyanto (2010) tindakan kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang mempunyai dampak fisik, dan psikologis, yang menyebabkan luka-luka tarumatis pada anak, baik yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan perkembangan mental psikologis anak. Tindak kekerasan pada anak, tidak sekedar menyebabkan anak mengalami luka fisik yang dalam hitungan hari bisa sembuh melalui perawatan medis, tetapi acap kali tindakan kekerasan pada anak juga berdampak terjadinya luka traumatis yang bukan tidak mungkin diingat hingga mereka dewasa.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment