Pengertian Autisme, Gejala, Penyebab, dan Terapinya

Table of Contents
Pengertian Autisme
Autisme

A. Pengertian Autisme

Autisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan.

Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun. Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.

Autisme Menurut Para Ahli
1. Judarwanto (2006), Autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
2. Santosa (2003), Autisme merupakan suatu sindroma gangguan perkembangan yang sangat kompleks dan berat, dengan dugaan penyebab yang sangat bervariasi, serta gejala klinik yang biasanya muncul pada tiga tahun pertama dari kehidupan anak.
3. Danuatmaja (2003), autisme adalah suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf dan mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala yang tampak, ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.
4. Yatim (2003), autisme adalah sindroma atau kumpulan gejala di mana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dalam kemajuan perkembangan, dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan.

B. Gejala Autisme

Gejala pada anak autisme biasanya sudah terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Beberapa gejala yang bisa diperhatikan antara lain tidak adanya kontak mata dan tidak adanya respons terhadap lingkungan. Jika tidak dilakukan terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak akan berhenti atau mundur. Seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali namanya. Beberapa pakar mengungkapkan 3 gejala pada penderita autisme klasik di antaranya,
1. Gangguan interaksi sosial
2. Hambatan dalam komunikasi ucapan dan bukan ucapan (bahasa tubuh dan isyarat)
3. Kegiatan dan minat yang aneh atau sangat terbatas.

Selain itu juga terdapat sifat-sifat lainnya yang biasa ditemukan pada anak autisme di antaranya,
1. Sulit bergabung dengan anak-anak yang lain
2. Tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya
3. Menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata
4. Menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri
5. Lebih senang menyendiri atau menarik diri dari pergaulan
6. Tidak membentuk hubungan pribadi yang terbuka
7. Gemar memutar benda atau terpaku pada benda tertentu
8. Sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik secara fisik
9. Aktif atau justru tidak aktif sama sekali
10. Tidak memberikan respons terhadap cara pengajaran yang normal
11. Tertarik pada hal-hal yang serupa, tidak mau menerima atau mengalami perubahan
12. Tidak takut akan bahaya
13. Terpaku pada permainan yang ganjil
14. Ekolalia (mengulang kata-kata atau suku kata)
15. Tidak mau dipeluk
16. Tidak memberikan respons terhadap kata-kata, bersikap seolah-olah tuli
17. Mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui kata-kata
18. Senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk
19. Jengkel atau kesal membabi buta

C. Penyebab Autisme

Penyebab pasti dari autisme hingga saat ini belum diketahui. Perlu diingat bahwa penyebab autisme bukanlah salah asuh dari orang tua. Menurut penelitian beberapa penyebab autisme di antaranya,
1. Ketidakseimbangan biokimia
2. Faktor genetis
3. Faktor metabolic
4. Beberapa kasus yang tidak biasa, autisme disebabkan oleh infeksi virus (TORCH), penyakit- penyakit lainnya seperti fenilketonuria (penyakit kekurangan enzim), dan sindrom X (kelainan kromosom).

Menurut studi yang dilakukan Lumbantobing (2000), penyebab autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya,
1. Faktor keluarga dan psikologi. Respons anak-anak terhadap stressor dari keluarga dan lingkungan.
2. Kelainan organ-organ biologi dan neurologi (saraf). Berhubungan dengan kerusakan organ dan saraf yang menyebabkan gangguan fungsi-fungsinya, sehingga menimbulkan keadaan autisme pada penderita
3. Faktor genetik. Pada hasil penelitian ditemukan bahwa 2-4% dari saudara kandung juga menderita penyakit yang sama.
4. Faktor kekebalan tubuh. Berhubungan pada masa kehamilan, faktor kekebalan tubuh ibu yang tidak dapat mencegah infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan saraf bayi .
5. Faktor pada kehamilan dan kelahiran
6. Faktor biokimia

D. Terapi Autisme

Berbagai jenis terapi bagi anak autisme telah dilakukan (Danuatmaja, 2003), dengan terapi dini, terpadu dan intensif gejala-gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Berikut ini beberapa jenis terapi bagi anak autisme di antaranya,
1. Terapi medika mentosa
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk menekan gejala hiperaktivitas yang ada, menekan agresivitas yang membahayakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan mengobati gejala-gejala tambahan seperti kejang.

2. Terapi biomedis
Terapi ini disusun oleh Paul Shattock, Ph. D, ahli farmasi dan guru besar Universitas Sunderland di Inggris, yang juga terkenal dengan pakar autis. Terapi biomedis di populerkan di Indonesia oleh pakar autis Dr. Melly Budiman, SpKj. Terapi biomedis gejala autisme ditempuh lewat cara biomedis yaitu memperbaiki metabolisme tubuh anak, dengan mengikuti prosedur terapi biomedis orang tua dipandu selangkah demi selangkah membersihkan tubuh anak dari bahan-bahan yang mengganggu metabolisme dan kerja sistem syaraf. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan dan keracunan logam berat (Danuatmaja, 2003).

3. Terapi wicara
Umumnya terapi ini menjadi keharusan bagi anak autisme karena mereka mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan diagnosis penyebabnya.

Hovland berpendapat bahwa komunikasi antar pribadi sebagai suatu situasi interaksi, di mana individu (komunikator) mengirim stimulus (perangsang) berupa simbol verbal untuk mengubah perilaku individu-individu lain dalam situasi tatap muka. Ada tiga tahap terapi yang perlu dilakukan saat terapi wicara menurut Danuatmaja (2003) di antaranya,
a. Terapi propilactic pre-speech. Mengajarkan anak agar melakukan kemampuan bicara awal, misalnya mengucapkan kata “ba-ba-ba” ketika bergumam.
b. Terapi etiologic. Peran orang tua sangat penting dalam terapi ini karena harus memberikan makanan dan minuman yang tepat (diet), meningkatkan perkembangan bicara, kemampuan persepsinya, dibarengi juga dengan mengajarkan artikulasi dan irama bicara.
c. Terapi symptomatic. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai kemampuan sendiri atau ekspresif.

4. Terapi okupasi
Terapi ini membantu anak autisme yang mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik, antara lain gerak-geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan otot halus anak. Berikut ini tujuan terapi okupasi pada anak autisme menurut (Danuatmaja, 2003) yaitu Diversional dapat menghindari neurosis dan memelihara mental.

Maksud diversional adalah terapi okupasi dapat digunakan untuk mengalihkan agar tidak terjadi neurosis (kegagalan individu memecahkan masalah atau tuntutan masyarakat yang membuat terganggu dalam pemeliharaan maupun penyesuain diri). Terapi okupasi juga digunakan untuk menyalurkan emosi atau kekesalan, sehingga walaupun anak marah pada situasi ataupun tekanan yang dihadapi, anak tidak akan menarik diri dan mudah tersinggung.

5. Terapi perilaku
Menurut Danuatmaja (2003) tujuan terapi perilaku adalah mengajarkan anak bagaimana belajar dari lingkungan normal, bagaimana berespons terhadap lingkungan, dan mengajarkan perilaku yang sesuai agar anak dapat membedakan berbagai hal tertentu dari berbagai macam rangsangan. Salah satu metode terapi perilaku adalah metoda ABA (Apllied Behavioral Analysis) yang dikenalkan oleh Loovas. Metode ABA bertujuan untuk membentuk perilaku atau menguatkan perilaku yang positif dan mengurangi atau menghilangkan perilaku negatif atau tidak diinginkan.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment