Pengertian Agresivitas, Aspek, Faktor, Bentuk, Teori, dan Cara Mengontrolnya
Agresivitas |
A. Pengertian Agresivitas
Istilah agresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bersifat atau bernafsu menyerang; (Psikologi) cenderung (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Sementara agresivitas adalah sebuah perilaku individu berupa serangan yang ditunjukkan untuk menyakiti, melukai, mencelakakan atau tindakan lain yang bersifat merugikan, tidak sopan atau permusuhan baik secara fisik maupun psikologis.
Agresivitas merupakan suatu reaksi terhadap frustrasi atau ketidakmampuan memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar dan bukan naluri. Agresivitas umumnya memiliki potensi untuk melukai orang lain atau benda yang berupa serangan fisik (memukul, menendang, menggigit), serangan verbal (membentak, menghina) dan melanggar hak orang lain (mengambil dengan paksa).
Pengertian Agresivitas Menurut Para Ahli
1. Sarlito Wirawan (2002), menyatakan bahwa jenis kelamin mempengaruhi jenis agresivitas yang ditampilkan. Pria cenderung menampilkan agresi instrumental sedangkan wanita menampilkan agresi emosional. Dapat disimpulkan tingkah laku agresi manusia ditentukan oleh situasi, jenis kelamin dan tingkah pendidikan.
2. Coccaro dan Murphy (1990), agresivitas adalah sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah dan impulsif.
3. Harding (2006), agresivitas adalah sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak.
4. Kiswarawati (1992), agresivitas adalah tingkah laku individu yang ditunjukkan untuk melukai atau mencelakakan individu yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.
5. Brigham (1991), agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti orang yang tidak ingin disakiti, baik secara fisik maupun psikologis.
6. Dayakisni dan Hudaniah (2006), agresivitas adalah suatu serangan yang dilakukan oleh organisme lain, obyek lain, atau bahkan pada dirinya sendiri.
B. Aspek Agresivitas
Aspek-aspek agresivitas menurut Breakwell (1998) di antaranya,
1. Bentuk Agresivitas (fisik dan verbal)
Pada aspek bentuk agresi mencerminkan perbedaan nyata antara ekspresi kemarahan dalam kata-kata/verbal atau tindakan/fisik. Perlu diperhatikan bahwa kedua bentuk agresi ini dapat digunakan oleh orang yang sama pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, ketika kita marah pada orang yang tidak dikenal maka kita menggunakan ekspresi verbal untuk menunjukkan kemarahan kita. Sementara jika kita marah kepada orang yang sudah kita kenal dekat maka kita menggunakan agresi fisik. Akan tetapi, perlu juga untuk melihat seberapa sering kita menggunakan kedua jenis agresi itu.
2. Arah Pelampiasan Agresivitas (langsung dan dialihkan)
Untuk aspek arah pelampiasan agresi mewakili perbedaan yang kurang mencolok antara agresi yang diarahkan pada alasan kemarahan dan agresi yang dialihkan ke objek-objek lain. Misalnya, saat kita marah kepada teman dekat kemudian kita melampiaskan amarah itu dengan merusak benda kesayangannya. Level Kendali-Diri: Mengamuk dan Tenang. Mengukur apakah individu tetap merasa tenang sekalipun sedang bersikap agresif.
3. Level Kendali Diri (mengamuk dan tenang)
Untuk aspek level kendali-diri mencerminkan level kendali-diri yang dimiliki ketika sedang marah. Setiap individu memiliki perbedaan dalam mengekspresikan amarah. Misalnya ada orang yang menunjukkan kemarahannya dengan berteriak-teriak sambil melempar barang-barang dan ada juga yang tetap tenang dan memilih diam ketika sedang marah.
4. Arah Agresi (intrapunitif dan ekstrapunitif)
Untuk aspek arah agresi merujuk pada arah agresi ke dalam diri kita atau keluar diri kita. Respons-respons intrapunitif meliputi pengalihan agresi terhadap diri sendiri. Respons-respons ekstrapunitif melibatkan eksternalisasi agresi. Menyalahkan diri sendiri, malu dan rasa bersalah bisa menjadi bentuk-bentuk intrapunitif. Sifat intrapunitif juga dikaitkan dengan berbagai keluhan psikosomatis seperti asma dan sakit maag.
C. Faktor Agresivitas
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas menurut Baron dan Branscombe (2012) di antaranya,
1. Faktor sosial. Agresivitas yang disebabkan oleh faktor sosial dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya frustrasi (frustration), provokasi langsung (direct provocation) dan kekerasan dalam media (media violence). Seseorang akan frustrasi saat ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan atau seperti yang diharapkannya.
2. Faktor budaya. Agresivitas yang disebabkan oleh faktor budaya dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya kehormatan pada budaya (cultures of honor), kecemburuan seksual (sexual jealousy) dan peran pada laki-laki (the male gender role).
3. Faktor pribadi. Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya kepribadian (personality), narsis (narcissism) dan perbedaan jenis kelamin (gender differences).
4. Faktor situasi. Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya suhu (temperature) dan alkohol (alcohol).
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi agresivitas pada seseorang menurut Dayakisni dan Hudaniah (2006) di antaranya,
1. Provokasi. Bisa mencetuskan agresi karena provokasi itu oleh pelaku agresi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respons agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu.
2. Deindividuasi. Mengarahkan seseorang pada keleluasaan dalam melaksanakan tingkah laku agresi sehingga agresi yang dilakukan lebih intens. Khususnya efek dari penggunaan teknik-teknik dan senjata modern yang membuat tindakan agresi sebagai tindakan non-emosional sehingga agresi yang dilakukannya lebih intens.
3. Kekuasaan dan kepatuhan. Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan. Bahkan kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan pengaruh agresi yang kuat.
4. Pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect). Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengonsumsi alkohol. Seseorang yang mengonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi meningkatkan kemungkinan respons agresi ketika seseorang diprovokasi.
D. Bentuk Agresivitas
Secara umum agresivitas dibagi menjadi empat jenis menurut Buss dan Perry (1992) di antaranya,
1. Agresi fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Hal ini termasuk memukul, menendang, menusuk, membakar, dan sebagainya.
2. Agresi verbal adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal. Bila seorang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek, dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi verbal.
3. Kemarahan hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apa pun. Contoh seseorang dapat dikatakan marah apabila apa bila dia sedang merasa frustrasi atau tersinggung.
4. Kebencian adalah sikap yang negatif terhadap orang lain karena penilaian sendiri yang negatif. Contohnya adalah seseorang curiga kepada orang lain karena orang lain tersebut baik dan lain sebagainya.
Agresivitas fisik dan verbal terdiri dari delapan bentuk menurut Kiswarawati (1992) di antaranya,
1. Agresi fisik aktif langsung. Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung.
2. Agresi fisik pasif langsung. Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung.
3. Agresi fisik aktif tidak langsung. Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya.
4. Agresi fisik pasif tidak langsung. Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung.
5. Agresi verbal aktif langsung. Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain.
6. Agresi verbal pasif langsung. Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung.
7. Agresi verbal aktif tidak langsung. Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya.
8. Agresi verbal pasif tidak langsung. Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dilakukan dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung.
E. Teori Agresivitas
Atkinson (1987) menjelaskan agresif adalah perilaku yang secara sengaja bermaksud melukai orang lain (secara fisik atau verbal) atau menghancurkan harta benda. Jadi agresivitas yang ditampilkan adalah kecenderungan untuk berperilaku melukai orang lain secara fisik atau verbal atau menghancurkan harta benda secara sengaja dalam wujud perilaku melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, mencaci, menghina, membunuh, menikam, berkata kasar, dan melempar serta merusak fasilitas-fasilitas dan merusak harta benda milik orang lain.
Di mana perilaku agresi yang ditampilkan pada sebagian besar individu, frekuensi ekspresi perilaku agresif bentuk dilakukannya ditentukan oleh pengalaman dan pengaruh sosial. Agresi dapat dipelajari melalui pengamatan atau peniruan dan semakin sering ia diperkuat, semakin sering akan terjadi. Seseorang yang mengalami frustrasi karena tidak mencapai tujuan atau terganggu oleh peristiwa stres mungkin mengalami emosi yang tidak menyenangkan. Respons yang ditimbulkan oleh emosi ini akan berbeda, tergantung pada jenis respons yang telah dipelajari oleh individu itu dalam menghadapi situasi stres.
Individu yang mengalami frustrasi itu mungkin mencari bantuan dari orang lain, menyerang, menarik diri, mencoba lebih keras untuk mengatasi penghalang atau mengenestesi dirinya sendiri dengan obat atau alkohol, dan balas dendam merupakan penyaluran frustrasi melalui proses internal yakni merencanakan pembalasan terhadap objek yang menghambat dan merugikannya. Biasanya balas dendam bisa dalam bentuk yang paling ringan seperti menjahili atau meliciki, dan bisa pula dengan perusakan atau penganiayaan terhadap orang lain.
Jalan keluar akibat frustrasi kemungkinan di antaranya,
1. Menjadi agresif seperti marah, menyerang, memukul bahkan mungkin membunuh.
2. Mengurangi cita-cita yang tidak mungkin dijangkau (sadar akan kemampuan diri), hal ini karena kesadaran diri didasari agama dan budaya yang membimbing.
Tetapi kebanyakan akibat frustrasi adalah tindakan-tindakan kekerasan. Namun pernyataan dorongan agresif sering ditentukan oleh pemenuhan harapan dan hukuman. Artinya bahwa meredanya agresivitas bergantung pada kondisi luar. Apakah mampu menurunkannya dengan “reward” atau “punishment” sebab “hadiah” bukan semata-mata materi, akan tetapi berisi juga dorongan, penghargaan psikologis, dan penerimaan. Sedangkan “hukuman” mungkin juga bisa mengurangi agresivitas untuk sesaat, karena sering respons terhadap hukuman tidak sama dipahami anak dan remaja.
Namun kebanyakan ahli-ahli psikologi sependapat bahwa belajar adalah determinan utama dalam perilaku agresif. Dengan kata lain, semua tindakan agresif adalah dipelajari. Hanya sedikit sekali yang disebabkan oleh dasar naluri. Anak kecil yang selalu mendapat tekanan, lingkungan yang bertengkar, akan menjadi anak pemarah dan agresif. Dasar perilaku pemarah dapat diperluas dan diperkuat melalui contoh-contoh dari orang dewasa dan tayangan film di televisi. Orang tua yang agresif akan ditiru oleh anak-anaknya, demikian pula masyarakat yang agresif. Sebaliknya orang tua yang permisif (masa bodoh) cenderung membuat perilaku anak agresif karena banyak perilaku negatif yang dibuat anak selalu dibiarkan saja tanpa ada norma evaluasi dan pembatasan.
Penyebab umum dari kemarahan dan agresi adalah hilangnya harga diri atau persepsi bahwa orang lain telah bertindak secara tidak adil. Tindakan agresif pada anak dan remaja sangat banyak faktor penyebab yang bersumber dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Kehidupan keluarga terutama orang tua yang sibuk mendorong terjadinya pengabaian terhadap anak dan remaja. Demikian pula guru-guru yang sibuk untuk menambah penghasilan lebih tidak sanggup lagi untuk memperhatikan siswanya. Sedangkan masyarakat kita cenderung individualistik, tidak lagi memperhatikan perilaku negatif anak dan remaja karena sebagian besar mereka beranggapan hal itu bukan urusan mereka.
Dasar biologis agresi pada manusia satu, faktor biologis yang mungkin berhubungan dengan agresi pada pria adalah kadar testosterone. Testosterone adalah hormone secara pria yang bertanggung jawab untuk banyak karakteristik tubuh pria dan yang telah dikaitkan dengan agresi pada kera. Penelitian terakhir menyatakan bahwa pada manusia pula, kadar testosterone yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat agresi yang lebih tinggi.
Pada manusia dan mamalia, perilaku agresif banyak yang berada di bawah pengendalian konteks dan dengan demikian lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan pengaruh sosial. Tetapi, bahkan pada manusia, terdapat suatu dasar biologis dari agresi (seperti kadar testosterone pada pria).
F. Cara Mengontrol Agresivitas
Menurut Dayakisni dan Hudaniah (2006), agresivitas dapat dikontrol dengan beberapa tindakan di antaranya,
1. Katarsis
Pelepasan ketegangan emosional yang mengikuti suatu pengalaman yang kuat. Katarsis mungkin dapat membantu mengurangi ketegangan yang berada dalam diri seseorang, karena dalam melakukan katarsis individu akan: 1) Mengalami perasaan yang lebih baik, dan 2) Mengurangi kecenderungan untuk melakukan tindakan agresif yang berbahaya.
2. Sublimasi
Suatu bentuk penyaluran perasaan tegang atau kemarahan yang dapat diterima oleh masyarakat. Penyaluran ini dapat berupa aktivitas olahraga, kesenian, maupun aktivitas bisnis yang mengandung persaingan.
3. Supresi
Individu melakukan penekanan terhadap rasa marah yang dialami. Penekanan ini dilakukan mungkin karena norma masyarakat atau norma keluarganya yang tidak mengizinkan untuk mengekspresikan rasa marah secara terang-terangan.
Dari berbagai sumber
Post a Comment