Pengertian Agresi, Aspek, Tujuan, Faktor, Jenis, Teori, Pencegahan, dan Pengendaliannya
Agresi |
A. Pengertian Agresi
Agresi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah,
1. penyerangan suatu negara terhadap negara lain; serangan;
2. (Psikologi) perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda;
3. (Antropologi) perbuatan bermusuhan yang bersifat penyerangan fisik ataupun psikis terhadap pihak lain.
Agresi adalah tingkah laku yang diarahkan dengan tujuan menyakiti makhluk hidup lainnya yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Termasuk dalam agresi manusia adalah siksaan berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan secara sengaja dan terencana dengan tujuan untuk menyakiti, merusak, menyengsarakan orang lain (individu maupun kelompok manusia).
Dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Terdapat setidaknya empat unsur penting dalam agresi di antaranya,
1. Agresi adalah perilaku
2. Ada unsur kesengajaan
3. Sasaran atau objek adalah makhluk hidup, khususnya manusia
4. Ada upaya untuk menghindar yang dilakukan oleh korban
Agresi merupakan bentuk interaksi sosial yang terang-terangan atau terselubung, sering kali berbahaya, dengan tujuan menimbulkan kerusakan atau ketidaknyamanan lainnya pada orang lain. Ini dapat terjadi baik secara reaktif atau tanpa provokasi. Pada manusia, agresi dapat disebabkan oleh berbagai pemicu, mulai dari frustrasi karena tujuan yang terhambat hingga perasaan tidak dihargai.
Agresi manusia dapat diklasifikasikan menjadi agresi langsung dan tidak langsung; sementara yang pertama ditandai dengan perilaku fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk membahayakan seseorang, yang terakhir ditandai dengan perilaku yang dimaksudkan untuk merusak hubungan sosial seseorang atau kelompok.
Agresi Menurut Para Ahli
1. Ramirez, agresi ialah fenomena kompleks yang dimunculkan dalam berbagai bentuk perilaku.
2. Buss dan Perry, agresi ialah suatu perilaku yang berniat untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikologis.
3. Harding, agresi ialah kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan merusak.
4. Berkowitz, agresi ialah perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok manusia berlandaskan niat untuk melukai individu lain, baik secara fisik ataupun secara psikologis.
5. Myers, agresi ialah perilaku atau tindakan dalam bentuk fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain.
6. Murray, agresi ialah cara yang dilakukan seseorang untuk mengatasi segala bentuk perlawanan atau konflik dari pihak lain.
7. Atkinson, agresi ialah tingkah laku yang bertujuan untuk merugikan orang lain, perilaku yang dimaksud untuk melukai orang lain, baik secara fisik atau verbal atau merusak harta benda.
8. Aronson, agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan atau tanpa tujuan tertentu
B. Aspek Agresi
Terdapat empat aspek perilaku agresi yang didasari oleh tiga dimensi dasar yaitu motorik, afektif, dan kognitif menurut Buss dan Perry (1992) di antaranya,
1. Agresi Fisik (Physical aggression), yaitu tindakan agresi yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respons motorik dalam bentuk fisik, misalnya memukul, menendang, dan lain-lain.
2. Agresi Verbal (Verbal aggression), yaitu tindakan agresi yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti, mengganggu atau membahayakan orang lain dalam bentuk penolakan dan ancaman melalui respons vokal dalam bentuk verbal.
3. Agresi Kemarahan (Anger aggression), yaitu emosi negatif yang disebabkan karena tidak terpenuhinya harapan. Kemarahan bisa menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Beberapa bentuk kemarahan misalnya kesal, sebal, temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah.
4. Agresi Hostility, yaitu tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain. Hostility merupakan bentuk agresi yang tergolong covert atau tidak tampak. Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri atas kebencian seperti cemburu dan iri terhadap orang lain dan kecurigaan, misalnya adanya rasa tidak percaya serta rasa khawatir.
Aspek-aspek perilaku agresif menurut Schneiders (dalam Aman, 2004) di antaranya,
1. Otoriter, yaitu orang mempunyai ciri kepribadian kaku dalam memegang nilai-nilai konvensional dan tidak dapat memberikan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain.
2. Superior, yaitu individu yang merasa paling baik dibanding dengan individu lain.
3. Egosentris, yaitu individu yang mengutamakan keperluan pribadi tanpa memedulikan kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukkan dengan kekuasaan dan kepemilikan.
4. Keinginan untuk menyerang baik terhadap benda maupun manusia, untuk melampiaskan keinginannya dan perasaannya yang tidak nyaman atau tidak puas terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga menyerang individu ataupun benda lain di sekitarnya
C. Tujuan Agresi
Agresi dapat dilakukan untuk sejumlah tujuan yang berbeda di antaranya,
1. Mengekspresikan kemarahan atau permusuhan
2. Menegaskan dominasi
3. Mengintimidasi atau mengancam
4. Mencapai suatu tujuan
5. Mengekspresikan kepemilikan
6. Respons terhadap rasa takut
7. Reaksi terhadap rasa sakit
8. Bersaing dengan orang lain
D. Faktor Penyebab Agresi
Tindakan agresi pada manusia disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya,
1. Faktor Biologis
a. Gen memiliki pengaruh terhadap pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresia.
b. Sistem otak manusia juga memiliki peranan dalam menghambat atau memperkuat sirkuit neural yang mengontrol agresi.
c. Kimia darah juga memiliki peranan terhadap perilaku agresi manusia.
2. Faktor Naluri. Manusia memiliki dua jenis insting, yaitu eros (insting kehidupan) dan thanatos (insting kematian). Agresi merupakan ekspresi dari naluri thanatos.
3. Faktor Emosi. Amarah merupakan emosi yang menunjukkan perasaan tidak suka yang sangat kuat. Amarah dapat menimbulkan agresi pada manusia.
4. Faktor Frustrasi. Seseorang merasa frustrasi ketika tidak dapat memenuhi kebutuhannya, atau tidak bisa mencapai tujuan/ keinginannya. Sering kali rasa frustrasi memicu terjadinya agresi pada manusia.
5. Faktor Sosial Learning. Tindakan agresi pada anak dan remaja sering kali karena melihat adegan kekerasan melalui televisi, games, ataupun di kehidupan nyata.
E. Jenis Agresi
Beberapa jenis agresi yang diklasifikasikan menurut sudut pandang biologis dan evolusi Moyer di antaranya,
1. Agresi Pemangsa, tindakan menyerang yang dilakukan oleh pemangsa terhadap mangsanya.
2. Agresi akibat ketakutan, tindakan menyerang untuk membela diri dan menghindari ancaman.
3. Agresi teritorial, tindakan menyerang untuk mengusir penyusup dari daerah teritorial.
4. Agresi antar jantan, pertarungan antara dua spesies jantan untuk saling memperebutkan betina, teritorial dan sumber makanan.
5. Agresi maternal, tindakan menyerang untuk melindungi anaknya dari ancaman bahaya.
6. Agresi instrumental, suatu agresi yang tujuannya untuk mencapai tujuan tertentu sebagai respons terhadap suatu situasi.
F. Teori Agresi
Terdapat beberapa teori-teori agresi di antaranya,
1. Teori Frustrasi – Agresi
Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
2. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam, Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna.
Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
G. Pencegahan dan Pengendalian Agresi
1. Hukuman
Hukuman (punishment) yaitu pemberian konsekuensi yang menyakitkan untuk mengurangi perilaku tertentu. Dalam hal ini yaitu sebagai suatu teknik untuk mengurangi agresi. Pertama-tama, kita harus perhatikan bahwa, dilihat secara keseluruhan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman dapat berhasil dalam mencegah individu untuk terlibat di banyak bentuk perilaku.
Namun, dampak seperti ini tidak pasti dan tidak otomatis. Bila hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, maka hukuman dapat menjadi tidak efektif untuk tujuan ini. Kondisi-kondisi apa yang harus dipenuhi sehingga hukuman dapat berhasil ? Empat hal yang penting di antaranya,
a. Harus segera; harus mengikuti tindakan agresif secepat mungkin.
b. Harus pasti; probabilitas bahwa hukuman akan menyertai agresi haruslah sangat tinggi.
c. Harus kuat; cukup kuat untuk dirasa sangat tidak menyenangkan bagi penerimanya.
d. Harus dipersepsikan oleh penerimanya sebagai justifikasi atau layak diterima.
2. Katarsis
Hipotesis katarsis (chatarsis hypothesis) adalah pandangan bahwa jika individu mengekspresikan kemarahan dan hostility mereka dalam cara yang relatif tidak berbahaya, tendensi mereka untuk terlibat dalam tipe agresi yang lebih berbahaya akan berkurang (Dollard dkk., 1939). Dalam berbagai aktivitas yang tidak berbahaya untuk orang lain (misalnya, aktivitas olahraga keras, berteriak-teriak dalam ruangan kosong) dapat mengurangi keterangsangan emosional yang berasal dari frustrasi atau provokasi (Zilmann, 1979). Sayangnya ternyata, efek seperti ini hanya sementara.
Keterangsangan emosi yang berasal dari provokasi dapat segera muncul kembali ketika individu mengingat kejadian yang membuat mereka marah (Caprara dkk, 1994). Dengan kata lain, faktor-faktor kognitif sering kali membuat dampak katarsis, jika ada hanya berumur pendek. Agresi terbuka tampaknya tidak berkurang dengan; (1) melihat adegan kekerasan di media (Geen, 1998), (2) menyerang objek mati (Bushman, Baumeister, & Stack, 1999; Mallick & McCandless, 1966), atau (3) melakukan agresi verbal terhadap orang lain, bahkan beberapa temuan menyatakan bahwa agresi dapat ditingkatkan oleh aktivitas ini.
3. Intervensi Kognitif (Permintaan Maaf dan Mengatasi Defisit Kognitif)
Pengakuan kesalahan-kesalahan yang meliputi permintaan ampun/maaf sesungguhnya sering kali sangat bermanfaat untuk mengurangi agresi (Kameda, Ohbuchi & Agarie, 1989). Sama halnya, alasan-alasan yang baik (good excuses) yang merujuk pada faktor-faktor di luar kontrol pemberi alasan – juga dapat efektif mengurangi marah dan agresi terbuka dari orang-orang yang telah diprovokasi dalam kadar tertentu (Baron, 1989b; Weiner dkk., 1987). Jadi jika Anda merasa bahwa Anda membuat orang lain marah, segeralah minta maaf. Masalah yang dapat Anda hindari membuat ucapan “saya menyesal” menjadi berharga.
4. Pemaparan Terhadap Model Non-agresif (Pertahanan yang Menular)
Jika pemaparan terhadap tindakan agresif yang dilakukan orang lain di media atau secara langsung dapat meningkatkan agresi, tampaklah memungkinkan bahwa pemaparan terhadap perilaku nonagresif menghasilkan dampak yang sebaliknya. Bahkan, hasil dari beberapa penelitian, menunjukkan bahwa hal ini memang benar (misalnya, Baron, 1972b; Donnerstein & Donnerstein, 1976).
5. Pelatihan dalam Keterampilan Sosial (Belajar untuk Memiliki Hubungan Baik dengan Orang Lain)
Salah satu alasan mengapa banyak orang yang terlibat dalam tanggapan agresif adalah karena mereka tidak memiliki keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui bagaimana merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan orang lain ini alih-alih mengganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang lain tanpa membuat orang lain tersebut marah.
Orang-orang yang tidak memiliki keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang cukup tinggi di banyak masyarakat (Toch, 1985), jadi membekali orang-orang ini dengan keterampilan sosial yang lebih baik dapat sangat bermanfaat untuk mengurangi agresi.
6. Respons yang Tidak Tepat (Sulit Untuk Tetap Marah Jika Anda Tersenyum)
Bayangkan Anda berada dalam situasi di mana Anda merasa diri Anda marah dan kemudian seseorang menceritakan sebuah lelucon yang membuat Anda tertawa. Apakah Anda akan tetap marah ? Mungkin tidak. Kemungkinannya besar bahwa ketika Anda tertawa, Anda akan merasa kemarahan Anda berkurang. Mengapa? Karena tertawa dan afek positif yang dibawanya tidak sesuai dengan perasaan marah dan tindakan agresi.
Hal ini merupakan dasar dari pendekatan lain untuk mengurangi agresi, yang dikenal sebagai teknik respons yang tidak tepat (incompatible response techniques) (misalnya. Baron, 1993b). Teknik menyatakan bahwa agresi akan berkurang jika individu dipaparkan pada kejadian atau stimulus yang menyebabkan mereka mengalami keadaan afeksi yang tidak tepat dengan kemarahan atau agresi.
Dari berbagai sumber
Post a Comment