Pengertian Personal Adjustment, Konsep, Aspek, Faktor, Jenis, Proses, dan Bentuknya
Personal Adjustment (Penyesuaian Diri) |
A. Pengertian Personal Adjustment (Penyesuaian Diri)
Adjustment dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai penyesuaian diri, penyelesaian. Sementara penyesuaian dalam ilmu psikologi diartikan sebagai cara seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Personal adjustment adalah kemampuan individu untuk menyikapi perubahan lingkungan dan mengatasi tuntutan dan tantangan dengan cara menyeimbangkan kondisi diri sendiri dengan kondisi lingkungan guna menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan diri individu dengan tuntutan dunia luar.
Personal adjustment merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri dengan lingkungannya. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan siap menghadapi situasi baru serta bisa menyelaraskan dirinya sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan tersebut.
Personal adjustment merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa dan mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena ketidakmampuannya dalam melakukan personal adjustment, baik dengan kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya.
Personal Adjustment Menurut Para Ahli
1. Weiten dan Lloyd (2006), personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan orang tersebut berusaha untuk mengatasi demand dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tuttle (2004), personal adjustment adalah sebuah proses di mana seseorang berusaha menyeimbangkan kondisi diri sendiri dengan kondisi yang diharapkan dari lingkungan.
3. Patosuwido (1993), personal adjustment merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologi yang tepat.
4. Colhoun & Acocella (1990), personal adjustment adalah interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional.
5. Wijaya (2015), personal adjustment adalah kemampuan seseorang untuk mereaksi kenyataan-kenyataan, situasi-situasi, hubungan-hubungan sosial dalam lingkungannya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
B. Konsep Personal Adjustment
Membahas tentang penyesuaian diri, menurut Schneiders (dalam Ali, 2006) dapat ditinjau dari tiga sudut pandang di antaranya,
1. Penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation)
Berdasarkan latar belakang perkembangannya, penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi (adaptation). Padahal adaptasi ini umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Maka penyesuaian diri ini cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik (self-maintenance atau survival).
Oleh sebab itu, jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan diri maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian dalam arti psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya hubungan kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal, dalam penyesuaian diri sesungguhnya tidak sekedar penyesuaian fisik, melainkan yang lebih kompleks dan lebih penting lagi adalah adanya keunikan dan perbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan lingkungan.
2. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity)
Penyesuaian diri sebagai usaha konformitas mengisyaratkan bahwa usaha individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk selalu mampu menghindar diri dari penyimpangan perilaku baik secara moral, sosial, maupun emosional. Individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan terancam tertolak dirinya ketika perilakunya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
3. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery)
Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery), yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan, frustrasi tidak terjadi. Dengan kata lain, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan diri sehingga dorongan, emosi dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah.
Hal ini juga berarti penguasaan dalam diri memiliki kekuatan terhadap lingkungan, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas berdasarkan cara-cara yang baik, akurat, sehat dan mampu bekerja sama dengan orang lain secara efektif dan efisien, serta mampu memanipulasi lingkungan sehingga penyesuaian diri dapat berlangsung dengan baik.
C. Aspek Personal Adjustment
Personal adjustment merupakan usaha untuk menyeimbangkan kondisi lingkungan dengan kondisi diri sendiri. Proses tersebut bermula dari bagaimana seorang individu mengidentifikasi diri sendiri, kemudian mengidentifikasi kondisi lingkungan, hingga akhirnya individu tersebut berusaha menyeimbangkan kedua hal tersebut. Terdapat tiga aspek personal adjustment menurut Weiten dan Lloyd (2006) di antaranya,
1. Stress dan coping stress. Stress sebagai sebuah suatu hal yang dipersepsikan mengancam well being seseorang dan mengharuskan seseorang tersebut menggunakan kemampuan mereka dalam mengatasi stress tersebut. Ketika individu menghadapi sebuah stimulus yang dianggap menimbulkan stress, maka individu tersebut akan berusaha melakukan penilaian terhadap stimulus tersebut. Ketika individu telah selesai melakukan penilaian terhadap situasi yang dianggap menimbulkan stress, maka orang tersebut akan melakukan proses coping. Coping stress sebagai sebuah upaya untuk memanajemen ketidakseimbangan antara demand lingkungan dengan resource yang dimiliki.
2. Interpersonal realm. Interpersonal realm adalah salah satu aspek personal adjustment di mana seseorang dalam proses penyesuaian dirinya berusaha untuk membangun hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Interpesonal realm mengacu pada hubungan yang dimiliki individu dengan individu yang lain.
3. Developmental transition. Developmental Transition merupakan perubahan yang terjadi selama seorang individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada beberapa hal, di antaranya adalah perubahan dalam peran gender dan perilaku, transisi dalam dunia pekerjaan dan perubahan dalam kehidupan seksual.
Personal adjutsment yang baik terdiri dari enam aspek menurut Schneider (2008) di antaranya,
1. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan. Aspek ini menekankan kepada adanya kontrol dan ketenangan emosi individu yang memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara cermat dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi lebih kepada kontrol emosi ketika menghadapi situasi tertentu.
2. Mekanisme pertahanan diri yang minimal. Aspek ini menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respons yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai.
3. Frustrasi personal yang minimal. Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
4. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu melakukan penyesuaian diri yang baik apabila individu dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik.
5. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu. Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain melalui proses belajar. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya.
6. Sikap realistik dan objektif. Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
D. Faktor Personal Adjustment
Terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri remaja menurut Schneiders (1964) di antaranya,
1. Kondisi Fisik
a. Hereditas dan Konstitusi Fisik
Ada kemungkinan besar disposisi yang bersifat mendasar seperti periang, sensitif, pemarah, penyabar dan sebagainya, sebagian ditentukan secara genetik, yang berarti kondisi hereditas terhadap penyesuaian diri, meskipun tidak secara langsung. Faktor lain yang berkaitan dengan konstitusi tubuh yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah intelegensi dan imajinasi. Dua faktor ini memainkan peranan penting dalam penyesuaian diri.
b. Sistem Utama Tubuh
Fungsi yang memadai dari sistem syaraf merupakan kondisi umum yang diperlukan bagi penyesuaian diri yang baik. Sebaliknya, penyimpangan pada sistem syaraf akan berpengaruh terhadap kondisi mental maka penyesuaian diri kurang baik. Gejala psikosomatis (gejala yang menyinggung proses-proses baik fisik maupun psikis) merupakan salah satu contoh dari tidak berfungsinya sistem syaraf yang kurang baik sehingga mempengaruhi penyesuaian diri.
c. Kesehatan Fisik
Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri dan lain-lain yang akan menjadi kondisi yang sangat mempengaruhi bagi proses penyesuaian diri. Sebaliknya, kondisi yang tidak sehat dapat menyebabkan perasaan rendah diri, kurang percaya diri bahkan menyalahkan diri sehingga akan berpengaruh kurang baik bagi proses penyesuaian diri.
2. Kepribadian
a. Kemauan dan Kemampuan untuk Berubah (Modifiability)
Kemauan dan kemampuan untuk berubah merupakan karakteristik kepribadian yang akan mempengaruhi proses penyesuaian diri. Kemauan dan kemampuan untuk berubah ini akan berkembang melalui proses belajar bagi individu yang dengan sungguh-sungguh belajar untuk dapat berubah, maka kemampuan menyesuaikan dirinya akan berkembang juga. Sebaliknya, kualitas kemampuan untuk berubah akan berkurang atau menurun disebabkan oleh sikap dan kebiasaan yang kaku, sering mengalami kecemasan dan frustrasi.
b. Pengaturan Diri (self regulation)
Pengaturan diri sama pentingnya dengan proses penyesuaian diri dan pemeliharaan stabilitas mental, kemampuan untuk mengatur diri dan mengarahkan diri. Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari keadaan penyimpangan kepribadian. Kemampuan pengaturan diri dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan realisasi diri.
c. Realisasi diri (self realization)
Proses penyesuaian diri dan pencapaian hasilnya secara bertahap sangat erat kaitannya dengan perkembangan kepribadian. Jika perkembangan kepribadian berjalan normal sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, maka di dalamnya tersirat potensi laten dalam bentuk sikap, tanggung jawab, penghayatan, nilai-nilai, penghargaan diri dan lingkungan. Semua itu merupakan unsur-unsur penting dalam realisasi diri.
d. Intelegensi
Intelegensi sangat penting bagi perolehan perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan yang memainkan peranan penting dalam proses penyesuaian diri. Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul tergantung pada kualitas dasar dalam penyesuaian diri yaitu intelegensi. Baik buruknya penyesuaian diri seseorang ditentukan oleh kapasitas intelektual ataupun intelegensinya.
3. Proses belajar
a. Belajar
Kemampuan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri individu karena respons-respons dan sifat-sifat kepribadian yang diperlukan bagi proses penyesuaian diri diperoleh dan diserap melalui proses belajar. Kemampuan belajar akan muncul dari dalam diri individu. Oleh sebab itu perbedaan pola-pola penyesuaian diri dari yang normal sampai dengan yang tidak normal merupakan hasil perubahan yang dipengaruhi oleh proses belajar dan kematangan. Pengaruh proses belajar akan muncul dalam bentuk mencoba-coba dan gagal (trial and error), pengondisian (conditioning), dan menghubungkan (association) berbagai faktor yang ada di mana individu itu melakukan proses penyesuaian diri.
b. Pengalaman
Ada dua jenis pengalaman yang memiliki nilai signifikan terhadap proses penyesuaian diri di antaranya,
a) Pengalaman yang menyehatkan (Salutary Experiences), peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, mengasikan, dan ingin mengulangnya kembali, ditransfer ketika individu harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
b) Pengalaman traumatik (Traumatic Experiences), peristiwa yang dialami oleh individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan, menyedihkan dan sangat menyakitkan sehingga individu tidak ingin mengulangnya kembali. Individu yang mengalami pengalaman ini akan cenderung ragu-ragu, kurang percaya diri, gamang, rendah diri dan merasa takut ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
c. Latihan
Latihan merupakan proses belajar yang diorientasikan pada perolehan keterampilan atau kebiasaan. Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang kompleks yang mencakup proses-proses psikologis dan sosiologis maka memerlukan latihan agar mencapai hasil penyesuaian diri yang baik.
d. Determinasi Diri
Determinasi diri merupakan faktor kuat yang dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan dalam mencapai penyesuaian diri secara tuntas untuk merusak diri sendiri. Dengan determinasi diri, individu dapat secara bertahap mengatasi penolakan diri maupun pengaruh buruk lainnya.
4. Lingkungan
a. Lingkungan keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga di mana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggung jawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
c. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penyesuaian diri. Konsistensi nilai-nilai, aturan-aturan, norma, moral dan perilaku masyarakat akan diidentifikasikan oleh individu yang berada dalam masyarakat tersebut sehingga akan berpengaruh terhadap proses perkembangan penyesuaian diri.
5. Agama dan Budaya
Agama erat kaitannya dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberi makna mendalam, tujuan, serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Selain agama, budaya juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan individu. Hal ini terlihat dari adanya karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu mulai dengan berbagai media dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
E. Jenis Personal Adjustment
Terdapat dua jenis personal adjustment Menurut Schneiders (2008) di antaranya,
1. Personal adjustment pribadi, yaitu bentuk personal adjustment yang diarahkan kepada diri sendiri, seperti personal adjustment fisik dan emosi, personal adjustment seksual, dan personal adjustment moral dan religius.
2. Personal adjustment sosial, yaitu bentuk personal adjustment terhadap lingkungan, seperti rumah, sekolah, dan masyarakat; yang merupakan aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola hubungan di antara kelompok yang ada dan saling berhubungan secara integral di antara ketiganya.
Personal adjustment menurut Gunarsa (2006) terdiri dari,
1. Adaptive. Merupakan bentuk personal adjustment bersifat fisik, artinya perubahan-perubahan dalam proses fisiologis untuk menyesuaikan kebutuhan diri terhadap lingkungan.
2. Adjustive. Merupakan bentuk personal adjustment bersifat psikis, artinya personal adjustment, baik emosi dan tingkah laku terhadap lingkungan yang memiliki norma sosial.
F. Proses Personal Adjustment
Proses atau tahapan personal adjustment pada individu menurut Sunarto (1998) di antaranya,
1. Mula-mula individu di satu sisi merupakan dorongan keinginan untuk memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri.
2. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan.
3. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya.
4. Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan.
5. Dapat bertindak sesuai dengan potensi positif yang layak dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan.
6. Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, selalu menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya.
7. Kesanggupan merespons frustrasi, konflik, dan stress secara wajar, sehat dan profesional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam.
8. Kesanggupan bertindak secara terbuka dan sanggup menerima kritik dan tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup memperbaiki tindakan-tindakan yang sudah tidak sesuai lagi.
9. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta selaras dengan hak dan kewajiban.
10. Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain dan segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan kesepian.
Proses penyesuaian diri setidaknya melibatkan tiga unsur menurut Scheneider (dalam Ali, 2006) di antaranya,
1. Motivasi
Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme. Respons penyesuaian diri, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya organisme untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respons, apakah itu sehat, efisien, merusak atau patologis ditentukan terutama oleh kualitas motivasi selain juga hubungan individu dengan lingkungan.
2. Sikap Terhadap Realitas
Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu bereaksi terhadap manusia sekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang membentuk realitas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sikap yang sehat terhadap realitas itu sangat diperlukan bagi proses penyesuaian diri yang sehat. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan dan semaunya sendiri, semuanya itu sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas.
Berbagai tuntutan realitas, adanya pembatasan, aturan, norma-norma menuntut individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dan realitas. Jika individu tidak tahan terhadap tuntutan-tuntutan itu, akan muncul situasi konflik, tekanan, dan frustrasi. Dalam situasi seperti ini, organisme didorong untuk mencari perbedaan perilaku yang memungkinkan untuk membebaskan diri dari ketegangan.
G. Bentuk Personal Adjustment
Menurut Schneiders (dalam Ali dan Asrori, 2006), penyesuaian sosial sama dengan kemampuan atau kapasitas untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada kenyataan sosial, situasi sosial dan hubungan sosial. Schneiders (dalam Ali dan Asrori, 2006) mengemukakan beberapa ciri orang dengan penyesuaian diri yang baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Bentuk penyesuaian diri sosial dibagi tiga di antaranya,
1. Penyesuaian diri di lingkungan keluarga, adapun ciri-ciri penyesuaian diri yang baik di lingkungan keluarga di antaranya,
a. Relasi yang baik antara anggota keluarga
b. Mau menerima otoritas orang tua
c. Kemampuan menerima tanggung jawab keluarga dan menerima batasan-batasan dalam tingkah laku
d. Membantu keluarga untuk meraih tujuan individu atau kelompok
e. Bebas dari pengaruh keluarga secara bertahap dan hidup mandiri
2. Penyesuaian diri di lingkungan sekolah, adapun ciri-ciri penyesuaian diri yang baik di lingkungan sekolah di antaranya,
a. Mau menerima dan menghormati otoritas (tata tertib sekolah), menerima wewenang dan peraturan dari kepala sekolah dan guru tanpa disertai rasa marah ataupun rasa enggan.
b. Mampu menjalin hubungan dengan teman dan guru, mempunyai relasi yang baik dengan teman, guru dan orang-orang di lingkungan sekolah tanpa diwarnai perasaan yang kurang baik seperti kebencian, iri hati dan penolakan.
c. Mau menerima tanggung jawab sebagai murid maupun sebagai bagian dari institusi, dapat bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan perannya sebagai murid dan mampu menjaga nama baik sekolah.
d. Tertarik dan mau berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, mau melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan yang diadakan pada lingkungan sekolah serta adanya keinginan diri ikut aktif dalam aktivitas tersebut.
3. Penyesuaian diri di lingkungan masyarakat, penyesuaian diri yang baik di lingkungan masyarakat mempunyai ciri-ciri di antaranya,
a. Keinginan untuk mengenal dan menghormati hak-hak orang lain yang berbeda dengan dirinya dan tidak melanggar hak orang lain serta tidak mengutamakan dan memaksakan diri sendiri.
b. Melibatkan diri dalam relasi dengan orang lain dan mengembangkan persahabatan, tidak menciptakan suasana yang dapat mengakibatkan kesalahpahaman dengan orang lain dan mengembangkan keinginan untuk bersahabat dengan orang lain.
c. Minat dan simpati terhadap kesejahteraan orang lain.
d. Sifat murah hati dan altruisme
e. Menghargai nilai-nilai dan integritas hukum, tradisi dan kebiasaan masyarakat. Menerima aturan yang ada, tidak hanya sekedar mengikutinya tanpa mengerti maksud aturan tersebut, memperhatikan baik buruknya nilai yang berlaku di masyarakat.
Dari berbagai sumber
Post a Comment