Pengertian Restitusi, Restitusi Pajak, dan Restitusi Hukum
Restitusi |
A. Pengertian Restitusi
Restitusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ganti kerugian; pembayaran kembali; penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa. Pada umumnya istilah restitusi berkaitan dengan bidang finansial dan bidang hukum. Misalnya restitusi pajak (finansial) atau tuntutan ganti rugi karena salah tangkap (bidang hukum).
Restitusi Menurut Para Ahli
1. Pakar Hukum, restitusi adalah pembayaran atau ganti rugi yang menyatakan adanya pengertian akan penderitaan korban dan sesuai tindak pidana, restitusi harus diberikan untuk korban atau ahli warisnya. Restitusi ini hanya berlaku untuk ganti kerugian yang bersifat materil dan non materil.
2. Pakar Pajak, restitusi adalah pembayaran kembali pajak yang sudah dibayar oleh para wajib pajak dengan syarat-syarat tertentu.
B. Restitusi Hukum
Dari bidang hukum restitusi adalah pembayaran kembali, atau ganti rugi yang memperlihatkan adanya pengertian dari penderitaan sang korban suatu tindak pidana, dan ganti kerugian ini haruslah dibayarkan kepada korban langsung atau ahli warisnya. Restitusi di bidang hukum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal 14 C tentang persyaratan yang diberikan kepada pelaku kejahatan berupa ganti rugi terhadap korbannya.
Sebenarnya restitusi dalam bidang hukum sendiri telah terjadi berpuluh tahun yang lalu. Hal tersebut terjadi karena pergeseran kriminalisasi tindak pidana yang terjadi di berbagai wilayah. Di sini ada gagasan yang mengemukakan negara ikut bersalah dan bertanggung jawab membiayai restitusi untuk sang korban. Konsep restitusi ini juga sebenarnya hanyalah pendekatan tertua yang kembali dihidupkan termasuk dalam hukum pidana di Indonesia.
Restitusi diberikan untuk melindungi berbagai hak korban kejahatan dari segala hal yang merugikan dari segi materil. Di Indonesia sendiri istilah restitusi sudah mulai dikenal masyarakat pada akhir tahun 70an dan awal tahun 80an, saat proses hukum dan prosedur hukum di negeri kita ini ada di masa abu-abu.
Pada tahun 1981 Pemerintah Indonesia, dengan undang-undangnya membuat peraturan untuk para terpidana, tersangka, maupun terdakwa. Mereka diberikan jaminan untuk dapat menuntut ganti rugi karena telah di tangkap, di tahan, dan dituntut serta diadili tanpa adanya alasan yang jelas, yang didasarkan kepada undang-undang. Atau juga karena kesalahan mengenai orang yang ditangkap dan hukum yang diterapkan.
Di pasal yang lain, Pemerintah Indonesia merincikan apa saja yang dimaksud restitusi dan apa saja persyaratannya. Dalam pasal tersebut dijelaskan kalo korban penangkapan, penyelidikan, ataupun penahanan yang tidak sah dan tidak terbukti kebenarannya bisa mengajukan restitusi atau ganti kerugian yang berupa materil.
Pada saat beralihnya masa Orde Baru menuju reformasi, beralih pula syarat-syarat dan undang-undang yang berlaku mengenai restitusi. Tiga tahun milenium baru, Pemerintah Indonesia membuat perjanjian baru mengenai restitusi yang tertuang di peraturan pemerintah nomor 15. Dalam peraturan baru tersebut pengajuan restitusi oleh korban atau kuasa hukumnya didasarkan atas amar putusan dan pengajuannya di tunjukkan kepada Menteri Keuangan.
Empat tahun berselang, pemerintah kembali melakukan revisi terkait perundang-undangan tentang restitusi tersebut. Sesuai yang tercantum dalam undang-undang nomor 21. Restitusi yang dapat dituntut oleh korban mencakup di antaranya,
1. Biaya psikologi atau tindakan perawatan medis
2. Kehilangan penghasilan
3. Biaya pengacara ataupun sesuatu yang berhubungan dengan proses hukum
4. Biaya transportasi dasar
5. Kerugian lain yang bersifat non materi, seperti penderitaan
C. Restitusi Pajak
Dalam bidang ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 9 atau dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72. Dalam Pasal 17B Pemerintah Indonesia telah menjelaskan mengenai restitusi pajak dan tata caranya. Di dalam pasal tersebut dijelaskan kalau setiap wajib pajak yang ingin meminta kembali pajak yang sudah dibayarkannya; karena kelebihan pajak tadi, haruslah memiliki Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau SKPLB. Dan untuk para wajib pajak yang ingin menerbitkan surat ini, jangka waktu yang paling lambat adalah 12 bulan.
Di bidang pajak ini restitusi sangat diperlukan untuk para wajib pajak. Karena, dengan adanya restitusi ini dapat meminimalisir terjadinya pengembalian pembayaran pajak yang berlebihan. Kelebihan pengembalian pajak sendiri dapat terjadi karena beberapa faktor di antaranya,
1. Karena jumlah pajak yang dibayar jauh lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang, seperti bisa kita lihat dalam pasal 17 ayat (1).
2. Karena adanya pembayaran pajak yang sebenarnya tidak terutang oleh wajib pajak. Ini dapat dilihat pada pasal 17 di ayat selanjutnya.
3. Karena pajak pemasukan yang bisa dikreditkan lebih banyak dari pajak pengeluaran. Sesuai pasal 9 ayat (4a).
4. Karena, orang yang hakikatnya bukan subjek pajak dalam negeri melakukan pembelian barang di daerah pabean yang seharusnya tidak di konsumsi dalam daerah pabean tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 17E maupun pasal 16E.
Sama seperti halnya restitusi hukum, restitusi pajak juga mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Masyarakat Indonesia kini mengenal restitusi di bidang pajak sebagai ganti rugi atau pembayaran kembali pembayaran pajak yang berlebih oleh wajib pajak. Sejarah restitusi pajak juga bisa kita lihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah.
Tak hanya restitusi hukum yang memiliki dasar hukum yang kuat, restitusi pajak pun memiliki dasar hukum yang sama kuat. Karena banyaknya wajib pajak (WP) yang kelebihan membayar pajak. Maka, Pemerintah mulai serius dalam membuat peraturan-peraturan mengenai pajak ini. Hasilnya bisa kita lihat dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK 03/2012 yang mengatur prosedur pembayaran pajak yang benar, agar tidak ada kelebihan pajak yang masuk.
Pada tahun 2012 sesuai dengan peraturan Menteri nomor 74/PMK/03 Menteri Keuangan kembali membuat peraturan mengenai tata cara penetapan dan pencabutan wajib pajak. Dengan berbagai macam persyaratan tertentu, pendahuluan kelebihan pajak di harapkan tidak terjadi lagi.
Satu tahun berselang, Menteri Keuangan kembali membuat persyaratan baru untuk mengurusi restitusi pajak. Di sana pemerintah mengatur tentang tata cara penyelesaian restitusi pajak. Tata cara tersebut tetapi hanya berlaku untuk pribumi, sedangkan untuk Warga Negara Asing (WNA), Menteri Keuangan sudah membuat peraturan yang lain di nomor 161/PMK 03/.
Sebenarnya salah satu penyebab restitusi pajak di Indonesia adalah karena sistem kresit pajak di Indonesia seharusnya tidak dilakukan pengenaan dan pemungutan pajak. Sistem kredit pajak berlaku untuk para wajib pajak yang diberi kewenangan untuk mengurangi total pajak yang terutang. Biasanya dalam satu tahun pajak telah di pungut oleh pihak lain, tetapi dalam beberapa kasus pajak juga bisa telah di bayar sendiri.
Dasar sistem kredit pajak yang juga merupakan skar dari lahirnya restitusi pajak diatur juga dalam undang–undang , seperti pada pasal 9 ayat (2) yang mengatur pajak pemasukan dalam masa pajak yang di kreditkan dengan pajak pengeluaran yang masih berada dalam masa pajak yang sama.
Sedangkan dalam pasal 28 ayat (1) Pemerintah mengatur lebih banyak hal mengenai restitusi pajak dan kredit pajak. Beberapa di antaranya,
1. Untuk setiap wajib pajak dalam Negeri dan bentuk usaha yang tetap, pajak yang terutang akan dikurangi dengan jumlah kredit pajak di tahun yang sama
2. Pemungutan pajak dan penghasilan di berbagai kegiatan yang menyangkut dalam bidang impor ataupun kegiatan usaha dalam bidang-bidang yang lain
3. Pajak yang berbentuk bunga, sewa, royalti, penghargaan dan atau hadiah akan dikenakan pemotongan sesuai dengan undang- undang pasal 23
4. Pajak yang boleh di kreditkan adalah pajak yang di bayar atau terutang dari berbagai penghasilan yang berasal dari luar Negeri
5. Seperti yang tertuang dalam pasal 21, pemotongan pajak berasal dari kegiatan, pekerjaan ataupun jasa
Dari berbagai sumber
Post a Comment