Pengertian Depresi Ekonomi, Ciri, Penyebab, Dampak, dan Solusinya
Depresi Ekonomi |
A. Pengertian Depresi Ekonomi
Depresi ekonomi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan perniagaan yang sukar dan lesu. Sementara menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) depresi ekonomi adalah keadaan ekonomi yang ditandai oleh menurunnya harga, menurunnya daya beli, jumlah penawaran yang jauh melebihi permintaan, angka pengangguran yang meningkat secara tajam, dan kelesuan dunia usaha yang mengarah kepada likuidasi perusahaan (depression).
Depresi ekonomi merupakan keadaan ekonomi yang mengalami resesi berkepanjangan sehingga mengakibatkan sektor ekonomi tersebut melemah. Sedangkan resesi adalah keadaan di mana terjadi pemerosotan pada produk domestik bruto. Depresi dan resesi memiliki hubungan sebab akibat. Depresi terjadi karena resesi dalam waktu yang lama.
B. Ciri Depresi Ekonomi
1. Menurunnya Daya Beli, bila suatu negara mengalami depresi, keadaan ekonomi sulit dan lapangan kerja mengecil membuat daya beli individu berkurang.
2. Saham Dijual Besar-besaran, resesi yang terjadi pada masa depresi justru membuat harga saham meningkat. Kondisi ini dimanfaatkan para investor untuk menjual sahamnya secara masif sehingga bisa membuat harga saham merosot tajam. Efek paling buruknya adalah saham menjadi tidak berharga dan kepercayaan konsumen ikut menurun.
3. Produksi Barang Berkurang Hingga 50%, efek menurunnya daya beli masyarakat membuat banyaknya barang sisa-sisa produksi yang tersimpan di gudang. Hal tersebut membuat para produsen mengurangi produksinya untuk tetap bisa bertahan karena untung belum tentu didapat dari hasil produksi sebelumnya.
4. Bank Pailit, dalam kondisi depresi, masyarakat yang menyimpan uang di bank berbondong-bondong mengambil simpanan mereka di bank. Kalau hal tersebut terjadi terus menerus, bank akan mengalami defisit kas dan dalam jangka waktu panjang bisa mengakibatkan bank tersebut pailit.
C. Penyebab Depresi Ekonomi
1. Kelesuan Permintaan Agregat
Keynesian percaya bahwa guncangan permintaan agregat dapat membawa perekonomian jatuh. Penyebabnya mungkin berasal dari guncangan permintaan rumah tangga, investasi bisnis, anjloknya ekspor bersih. Dan, sering kali guncangan permintaan rumah tangga adalah motor utama mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kejatuhan permintaan memaksa bisnis memangkas produksinya. Mereka juga merasionalisasi tenaga kerja untuk mengendalikan biaya operasi dan menjaga profitabilitas. Hasilnya, tingkat pengangguran naik. Peningkatan pengangguran memperburuk permintaan lebih lanjut. Konsumen memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan ke barang dan jasa. Itu kemudian membawa output ekonomi kembali jatuh dan menciptakan ekspektasi negatif terhadap ekonomi, kondisi bisnis, prospek pekerjaan dan pendapatan.
2. Penyusutan Jumlah Uang Beredar
Monetaris percaya penyusutan jumlah uang beredar menjelaskan periode depresi. Suku bunga melonjak karena likuiditas di perekonomian mengering. Bunga yang lebih tinggi membuat pinjaman baru lebih mahal. Itu memperburuk situasi ekonomi, membawa kejatuhan permintaan, dan memunculkan peningkatan gagal bayar.
Gagal bayar yang lebih tinggi memaksa bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Hasilnya, ketersediaan kredit menyusut. Bisnis tidak dapat memperoleh pinjaman baru. Bahkan, mereka sulit untuk memperbarui pinjaman lama mereka, memaksa banyak orang untuk berhenti berinvestasi.
3. Kejatuhan Harga dan Penjualan Real Estate
Kejatuhan pasar real estate mengawali resesi besar 2008-2009, meski tidak mengarah ke depresi. Ketika aktivitas spekulatif meningkatkan harga pasar real estat, aktivitas konstruksi meningkat. Itu juga meningkatkan biaya konstruksi. Euforia juga terjadi di kalangan investor. Gelembung harga terus berlanjut sampai di titik di mana harga sudah jauh di atas nilai wajarnya. Harga tidak mungkin naik lagi karena sudah tidak masuk akal dan permintaan yang lebih terbatas.
Akhirnya, gelembung pecah. Harga tiba-tiba jatuh. Arus kas pengembang real estate memburuk dan mereka menanggung biaya konstruksi yang telah melonjak. Hasilnya, gagal bayar meningkat. Kenaikan gagal bayar juga terjadi pada investor real estate. Karena harganya mahal, mereka biasanya mengajukan pinjaman untuk membeli real estat. Sebelumnya, pada saat harga naik, mereka masih memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dengan biaya pinjaman. Jadi, tidak ada masalah untuk membayar pinjaman. Tapi, ketika harga jatuh, mereka tidak dapat menjual dengan untung, meningkatkan kegagalan untuk melunasi kembali pinjaman.
4. Kejatuhan Pasar Saham
Spekulasi di pasar saham juga memunculkan gelembung harga, sebagaimana pada saat bubble dotcom pada akhir tahun 1990-an atau pada saat Depresi Hebat. Harga saham meroket karena spekulasi dan euforia berlebihan. Dan, tiba-tiba harga jatuh dan membuat kepanikan. Kepanikan meluas karena sebagian besar tabungan masyarakat masuk ke pasar saham. Penurunan harga saham berarti uang mereka menguap seketika.
Mereka mengurangi belanja barang dan jasa karena memiliki lebih sedikit uang (efek kekayaan). Itu akhirnya membuat banyak bisnis memangkas output mereka. Pelemahan permintaan lebih lanjut menekan arus kas perusahaan. Itu menciptakan kegagalan bisnis untuk melunasi utang.
5. Pengetatan Kredit
Penyusutan jumlah uang beredar membuat uang murah langka. Likuiditas pasar keuangan mengetat, mendorong naik suku bunga. Bank sentral tidak segera menyuntikkan uang ke perekonomian, membuat situasi semakin memburuk. Dalam kasus, Depresi Besar misalnya, Federal Reserve tidak dapat menghentikan penyusutan jumlah uang beredar karena pinjaman harus di backup dengan emas.
Undang-Undang Federal Reserve mensyaratkan 40% dukungan emas dari Federal Reserve Notes yang diterbitkan. Itu membuat Federal Reserve tidak segera merespon penurunan jumlah uang beredar. Kekeringan likuiditas dan kelesuan permintaan akibat crash di pasar saham memperparah situasi ekonomi. Gagal bayar dan bank gagal meningkat. Situasi itu menciptakan kepanikan di sistem keuangan dan dengan cepat menjalar ke perekonomian.
D. Dampak Depresi Ekonomi
Depresi ekonomi berdampak signifikan terhadap ekonomi. Itu juga mengekspos kehidupan masyarakat. Dampaknya segera menular ke berbagai negara, menciptakan periode kelam global.
1. Aktivitas ekonomi jatuh. PDB riil dapat menyusut lebih dari 10% sebagaimana pada periode Depresi besar. Dan, penurunannya dapat bertahan lama, hingga lebih dari tiga tahun.
2. Output industri dan investasi menyusut tajam. Lesunya permintaan membuat bisnis tidak dapat mempertahankan produksi dan membiayai operasi karena penjualan menyusut. Mereka mulai mengurangi tenaga kerja untuk merasionalisasi biaya dan mempertahankan profitabilitas.
3. Tingkat pengangguran melonjak drastis. Banyak bisnis bangkrut. Pemecatan terjadi dimana-mana. Itu menghasilkan tingginya angka pengangguran seketika dan tekanan ke bawah upah.
4. Upah turun. Pengangguran dan penyusutan ketersediaan lapangan pekerjaan menciptakan ekses pasokan di pasar tenaga kerja. Itu mendorong upah turun ke titik equilibrium yang lebih rendah. Perusahaan juga tidak dapat mempertahankan upah normal, memaksa mereka menurunkan upah.
5. Kepercayaan konsumen jatuh. Banyak orang tidak lagi memiliki uang pemasukan karena tidak bekerja. Bisnis bangkrut dan ekonomi jatuh. Itu mendorong peningkatan pesimisme konsumen atas prospek pekerjaan dan pendapatan oleh rumah tangga.
6. Daya beli menguap. Tingginya pengangguran membuat banyak orang kehilangan daya beli. Mereka tidak memiliki tabungan yang memadai. Dan, mereka harus membelanjakan lebih sedikit, mengantisipasi kemungkinan kejatuhan ekonomi lanjutan.
Akhirnya, pesimisme itu menurunkan permintaan dan membawa kejatuhan ekonomi lebih lanjut. Permintaan agregat menjadi tidak kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
1. Deflasi muncul. Permintaan lemah mendorong penurunan harga dalam perekonomian.
2. Penurunan pesanan manufaktur. Tekanan penjualan dan profitabilitas memaksa bisnis membatalkan pembelian barang modal. Itu memperburuk penurunan permintaan agregat karena investasi barang modal adalah salah satu penggerak permintaan dalam perekonomian.
3. Keuntungan bisnis jatuh. Perusahaan tidak dapat menjual produk karena penurunan lebih lanjut permintaan. Pada saat yang sama, mereka masih menanggung beban operasi, menekan ke bawah profitabilitas dan arus kas serta meningkatkan risiko gagal bayar.
4. Ketersediaan kredit menyusut. Bank enggan memberikan pinjaman karena peningkatan risiko gagal bayar. Selain itu, depresi memunculkan bank gagal dan memicu krisis perbankan.
5. Bank panik menjalar. Dalam kondisi tersebut, sejumlah besar nasabah takut akan solvabilitas bank. Mereka secara simultan berupaya menarik simpanan mereka dalam bentuk tunai.
6. Kepanikan dapat menjalar ke sistem keuangan. Bahkan, bank yang sehat secara finansial juga ikut hancur akibat kepanikan besar semacam itu. Akhirnya, itu memunculkan kegagalan sistem keuangan.
7. Gagal bayar melonjak. Prospek pendapatan rumah tangga dan keuntungan bisnis memburuk. Sebagai hasilnya, pendapatan pajak juga menyusut. Situasi itu pada akhirnya meningkatkan gagal bayar di tiga sektor makroekonomi: rumah tangga, bisnis dan pemerintah.
8. Deflasi memperparah gagal bayar. Nilai riil utang meningkat karena daya beli uang jatuh (disebut dengan deflasi utang).
9. Aktivitas ekspor impor menyusut. Karena depresi menjalar ke seluruh dunia, penurunan tajam juga terjadi pada perdagangan internasional, efek dari melemahnya permintaan konsumen, kebangkrutan bisnis dan penurunan tajam investasi.
10. Kemiskinan dan kelaparan melanda. Selama depresi, banyak orang kehilangan semua uang mereka dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Karena itu, mereka tidak dapat membeli makanan. Itu memunculkan kemiskinan dan kelaparan akut.
E. Solusi Depresi Ekonomi
1. Melalui kebijakan moneter dan fiskal ekspansif
Kebijakan moneter ekspansif melibatkan pemotongan suku bunga untuk mendorong konsumsi dan investasi (permintaan agregat). Ketika suku bunga lebih rendah, biaya pinjaman turun. Konsumen dan bisnis dapat mengajukan pinjaman baru dengan lebih murah, mendorong mereka untuk meningkatkan belanja dan investasi.
Kebijakan fiskal ekspansif berarti meningkatkan pengeluaran pemerintah, mengurangi pajak, atau kombinasi keduanya. Pengurangan pajak meningkatkan pendapatan disposabel, yang pada gilirannya, mendorong pengeluaran. Begitu juga, pengeluaran pemerintah melalui pembayaran transfer (seperti tunjangan pengangguran) membantu daya beli agar tidak jatuh semakin dalam.
2. Pengganda fiskal untuk mengatasi depresi
Investasi pemerintah menjadi pilihan yang masuk akal untuk mengeluarkan perekonomian dari periode depresi. Selama depresi, swasta enggan berinvestasi. Profil keuangan dan arus kas yang buruk tidak memungkinkan mereka untuk melakukannya. Prospek investasi oleh swasta juga suram karena permintaan sedang jatuh. Jika mereka berinvestasi, pasar belum tentu dapat menyerap output dari kapasitas baru mereka. Oleh karena itu, jika mereka berinvestasi, itu hanya akan membebani keuangan mereka.
Dalam kondisi ini, investasi dan pengeluaran pemerintah adalah opsi yang mungkin. Pemerintah tidak berorientasi keuntungan dan karena itu, kebijakan investasi adalah diskresi dari pemerintah. Sebagaimana teori Keynes, investasi pemerintah bekerja melalui efek pengganda. Setiap dolar investasi dapat menciptakan pemasukan dan nilai pekerjaan berkali-kali, dan dapat membantu pemerintah untuk menghapus pengangguran dan menggerakkan permintaan sektor rumah tangga.
Ketika permintaan meningkat, ekspektasi keuntungan pengusaha meningkat dan mendorong mereka untuk memulihkan produksi. Jika pemulihan berjalan sukses, permintaan barang dan jasa meningkat, mendorong bisnis untuk berinvestasi.
3. Meluncurkan kebijakan stabilisasi pasar keuangan
Stabilitas keuangan melibatkan pemerintah untuk menjamin simpanan bank, yang mempromosikan kredibilitas bank dan sistem keuangan. Misalnya, setelah Franklin D. Roosevelt menjabat presiden pada tahun 1932, Amerika Serikat mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk melindungi rekening deposan dan membentuk, Securities and Exchange Commission (SEC) untuk mengatur pasar saham.
Dari berbagai sumber
Post a Comment