Kearifan Lokal Nyabuk Gunung di Lereng Gunung Sumbing dan Sindoro

Table of Contents
Kearifan Lokal Nyabuk Gunung di Lereng Gunung Sumbing dan Sindoro
Kearifan Lokal Nyabuk Gunung
Kehidupan manusia berkaitan sangat erat dengan seluk beluk tanah. Indonesia memiliki kearifan lokal memuliakan tanah dengan budaya nyabuk gunung. Budaya menekan erosi dan menyelamatkan masa depan. Gunung memiliki makna mendalam bagi budaya kehidupan manusia. Perjumpaan batin manusia dengan Sang Penciptanya juga dilambangkan dengan gunung.

Gunung menjadi simbol penting dalam budaya, misalnya gunungan dalam wayang yang merangkum harmoni flora-fauna dalam simbol gunungan. Begitupun tumpeng yang akrab dengan ritual mengambil rupa miniatur gunung. Relasi manusia dengan gunung adalah relasi pemuliaan atau pengagungan, memperlakukannya pun dengan tidak sembarangan, demi menjaga kehormatan.

Nyabuk gunung memberi makna diberi sabuk atau ikat pinggang yang bertujuan mengencangkan. Simbol kesiagaan menjaga kehormatan, jika penutup badan longgar tanpa ikat pinggang, maka melorotnya pakaian menjadikan rasa kewirangan, malu yang sangat, karena tidak mampu menjaga kehormatan. Majas nyabuk gunung merupakan penghormatan atas tubuh gunung alias tanah.

Nyabuk gunung adalah budaya gerakan moral menjaga keutuhan lingkungan tanah ciptaan agar tidak melorot. Melorot baik secara harfiah melalui erosi maupun melorot secara fungsi akibat degradasi. Melorotnya tanah dari lereng gunung menghadirkan rasa kewirangan. Upaya nyabuk gunung adalah upaya menjaga martabat manusia sebagai pemegang mandat menjaga dan mengelola bumi. Nyabuk gunung adalah memuliakan tanah.

Gerakan moral memuliakan tanah ini diwujudnyatakan dalam racikan teknologi. Budaya nyabuk gunung juga lekat dengan masyarakat Jawa Barat yang menyebutnya ngais gunung. Begitupun di Bali, disebut dengan sengkedan. Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur.

Pada awalnya, lahan pertanian yang digunakan masyarakat di lereng Gunung Sumbing merupakan kawasan hutan yang cukup lebat. Masyarakat berbondong-bondong membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian, khususnya tembakau. Kondisi ini memungkinkan terjadinya erosi lahan karena tidak adanya tanaman tahunan yang mampu mengikat tanah pada lapisan permukaan, sehingga sedikit demi sedikit lapisan tersebut akan hilang. Menyadari hal tersebut, masyarakat lereng Gunung Sumbing dan Sindoro mulai melakukan kegiatan Nyabuk Gunung yakni cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur.

Nyabuk Gunung Sumbing merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menjaga kelestarian tanah di Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Nyabuk gunung merupakan kearifan lokal dalam bidang pertanian dengan berbagai istilah di dalamnya yaitu larikan, kotakan, banjaran, ledokan, nggalengi, dan bedengan. Upaya masyarakat dalam melestarikan tanah berhubungan erat dengan penghambatan besarnya erosi lahan yaitu 439,57 ton/ha/tahun. Sehingga diperoleh arahan konservasi lahan berupa hutan alami tidak terganggu atau pengelolaan lahan dengan teras gulud dengan penutup lahan, kemudian ditanami tanaman perkebunan berupa terong belanda, kopi dan teh yang disisipi tanaman berumur pendek dengan sistem tumpang sari.

Dalam kegiatan nyabuk gunung, terdapat berbagai istilah dan makna yang berkaitan dengan sistem tanam tradisional. Pertama, Larikan yaitu pengelolaan lahan searah kontur dengan pembuatan gundukan-gundukan tanah berupa undakan dan teras-teras horisontal. Kedua, Kotakan yaitu pengelolaan lahan dengan cara memetak-metak unit tertentu pada suatu lahan. Istilah ini sama dengan terasering atau teras berundak. Ketiga adalah Banjaran. Banjaran merupakan pengelolaan lahan dengan cara membuat gundukan tanah memanjang tegak lurus dengan kontur lereng sehingga bentuk gundukan tanah berbentuk vertikal.

Keempat adalah Ledokan. Ledokan merupakan pengelolaan lahan dengan cara membuat kolam-kolam penahan air pada bagian terbawah suatu lahan pertanian. Kelima adalah Nggalengi yang berasal dari kata Galengan yang memiliki arti sama dengan pematang. Sedangkan nggalengi diartikan sebagai upaya pengelolaan lahan oleh masyarakat dengan membentuk pematang-pematang yang dipatok oleh tanaman keras berupa pinus gunung, kopi maupun teh sebagai pembatas antar s satu lahan dengan lahan lain serta peneduh bagi tanaman lain yang tidak bertahan panas. Keenam adalah Bedengan. Bedengan merupakan istilah lazim yang digunakan masyarakat Desa Butuh yang berarti pembuatan teras-teras maupun gundukan tanah dengan penutup tanah berupa plastik-plastik.

Sumber.
- http://zonapertanianmaju.blogspot.com
- https://www.kompasiana.com
- https://www.uny.ac.id
- Sumber lainnya


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment