Definisi Deteritorialisasi, Problem, dan Contohnya
Deteritorialisasi |
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) deteritorialisasi adalah proses untuk menghilangkan batas-batas wilayah secara ketat. Deteritorialisasi berarti batas-batas geografis ditiadakan atau dianggap tidak lagi berperan dan tidak lagi menentukan dalam perdagangan antarnegara. Sementara itu, menurut Tomlinson (2003) deteritorialisasi mengacu pada perkembangan jangkauan konektivitas yang melampaui jarak ke daerah di mana suatu masyarakat melakukan dan mengalami aktivitas sehari-hari. Satu tempat dengan tempat lainnya boleh jadi terpisahkan oleh jarak, Beijing, Berlin atau Buenos Aires memiliki budaya yang terasa berbeda. Tetapi tunggu sampai globalisasi masuk, hal itu tidak akan bertahan dalam waktu yang lama. Bagaimana Globalisasi mempengaruhinya? Deteritorialisasi.
Prospek budaya dalam globalisasi semakin melemah karena adanya globalisasi membuat batas-batas budaya menjadi tersamar kemudian menyebabkan deteritorialisasi, yakni kondisi di mana ciri khas dan perbedaan budaya melemah perlahan menghilang. Budaya mulai terancam karena globalisasi memiliki nilai monokultural yang menyertainya. Hal tersebut menyebabkan ketegangan budaya, yakni budaya lokal berkompetisi dengan budaya global. Budaya global yang dibawa oleh globalisasi mengacu pada modernitas. Deteritorialisai menjelaskan bagaimana ikatan budaya dengan tempat menjadi lemah. Mobilitas, media dan teknologi informasi mengambil peranan dalam hal ini (Tomlinson, 2007:152).
Meskipun kebudayaan bangsa menjadi samar, globalisasi tidak menghilangkan keseluruhan kebudayaan khas suatu bangsa. Deteritorialisasi dalam analisis budaya menjelaskan bagaimana kehidupan ini tertransformasi, terhubung dan terpenetrasi oleh lokalitas budaya. Transformasi yang dijelaskan dalam konsep deteritorialisasi dapat juga terjadi melalui proses telemediatisasi, yakti proses di mana peran media dan komunikasi baik melalui teknologi maupun institusi sebagai lintasan penyebaran secara cepat lokalitas budaya.
Deteritorialisasi berarti tidak bisa dibedakannya antara non-places dan antropological places, menurut Marc Auge (1995). Keintiman komunal dan rutinitas dalam antropological places telah hilang. Dengan modernisasi, jaringan lalu lintas manusia yang bisa melintasi batas-batas anthropological places semakin luas. Dalam sebuah transit konsumer (anthropologist) mengalami sebuah hubungan yang abstrak, itulah non-places: bandara, stasiun pengisian bahan bakar, bioskop, hypermarket dan seterusnya. Anthropological places sendiri diartikan sebagai lokasi di mana menjadi tempat tinggal dan merupakan satu tempat yang fix (Tomlinson, 2007:154). Dengan mobilitas yang tinggi dalam era ini, manusia seringkali menghabiskan sebagian waktunya dalam apa yang disebut non-places oleh Auge.
Deteritorialisasi bisa terjadi dengan adanya mobilitas dalam bentuk fisik maupun elektrik. Dalam bentuk fisik yang lebih ekstrim daripada transit, bisa digambarkan dengan terjadinya migrasi di berbagai tempat dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini akan memunculkan sebuah dualisme budaya anatara keotentikan dan kebiasaan asli dengan gerakan emansipasi dari pendatang atau nomadisme. Meningkatnya tingkat rutinitas bepergian antar wilayah yang berjauhan, akan menumbuhkan perkembangan dalam masyarakat (Tomlinson, 2007:156). Dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh yang lebih ekstrim sebenarnya diberikan oleh mobilitas elektrik dibawah perkembangan media dan teknologi informasi. Mobilitas dalam bentuk ini menciptakan satu budaya yang dinamakan immediacy. Kecepatan adalah segalanya dalam melakukan hubungan. Perjalanan secara virtual dari perkembangan telephone dan internet telah menghilangkan konteks ruang dan waktu dalam berkomunikasi. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dituntut untuk mengikuti sebuah budaya baru yang bahkan diinstitusionalisasikan. Misalnya, dalam pekerjaan, penguasaan teknologi dan telekomunikasi adalah sebuah tuntutan (Tolimson, 2007:158).
Dalam perubahan postur dari budaya tersebut, bagaimana kelangsungan sebuah identitas? Hal ini juga diperdebatkan oleh Tomlinson (2007:159), sebagaimana dua kemungkinan yang terjadi adalah hilangnya identitas dalam sebuah budaya di satu sisi, dan kemungkinan terciptanya kosmopolitan di sisi lain. Contohnya adalah bangsa Inggris dan China dulunya melakukan berbagai kegiatan dengan hal dan cara yang sama sekali berbeda, tetapi sekarang mulai memiliki aktivitas yang sama seperti mengakses informasi yang sama dari internet. Internet atau telepon genggam yang memungkinkan komunikasi tanpa langsung menyertakan perpindahan fisik. Mobilitas yang demikian disebut dengan virtual travel (Tomlinson, 2003).
Dari berbagai sumber
Post a Comment