Politik Aliran (Sektarian)
Politik Aliran atau Sektarian |
Politik aliran merupakan keadaan ketika sebuah kelompok dikelilingi oleh organisasi massa baik informal maupun formal. Tali pengikat antara kelompok dan organisasi massa ini adalah ideologi/sekte tertentu. Politik aliran adalah politik dalam suatu masyarakat yang memilih pilihan politiknya masih berdasarkan kepada aliran, agama, atau ideologi yang dianut seseorang. Biasanya politik aliran ini adalah berupa partai politik yang memiliki afiliasi dengan ormas atau lembaga tertentu. Afiliasi tersebut dibentuk untuk mendapatkan dukungan dari ormas tersebut.
Politik aliran adalah wacana yang awalnya merujuk pada penelitian Clifford Geertz (1962) untuk menggambarkan dinamika religiusitas masyarakat Jawa: santri-modernis- tradisionalis, abangan, dan sekuler. Dari situlah kemudian, muncul teori masyarakat ke dalam tiga varian; abangan, santri, dan priyayi, yang menjadi basis dalam kelembagaan politik seperti partai politik, dan menginternalisasikan paham politik aliran dalam platform organisasi, termasuk dalam memetakan basis dukungan di masyarakat. Argumen politik aliran yang dikembangkan Gertz selanjutnya dijadikan landasan untuk membaca prilaku pemilih hasil Pemilu 1955. Di mana polarisasi pemilih dan dukungan massa terhadap PNI dan PKI, dan Masyumi dan NU di sisi berbeda, mencerminkan dua tipe keagamaan masyarakat: abangan dan santri. Sehingga muncul diferensiasi partai Islam dan partai non-Islam.
Dwight King mengemukakan bahwa hasil pemilu tahun 1999 tidak jauh berbeda dari hasil pemilu 1955. Sebaran kursi di parlemen yang dikuasai partai Islam (santri-modernis-tradisionalis) dan partai nasionalis (abangan-sekuler) dalam dua pemilu itu tidak jauh berbeda. Dalam pemilu 1955, partai-partai Islam (Masyumi, Nahdlatul Ulama dll) menguasai 40 persen suara, sementara pada pemilu 1999, partai-partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) secara total mengalami penurunan 36,8 persen suara. Pada Pemilu 2004, suara partai Islam naik menjadi 38.1 persen. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam lebih sedikit. Pada Pileg 2009, agregat partai Islam anjlok lagi menjadi sekitar 25 persen. Nampak fakta penurunan perolehan suara partai Islam pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 jika dibandingkan dengan Pemilu 1955. Fakta menurunnya suara partai Islam menunjukkan makin kurang relevannya penjelasan politik aliran untuk melihat perilaku pemilih. Sehingga ada yang menyatakan bahwa teori Geertz, tidak relevan lagi menjadi rujukan untuk melihat polarisasi tingkat keberagamaan di masyarakat dengan partai politik yang dipilih.
Ada beberapa alasan mengapa dukungan massa pemilih terhadap partai Islam yang mengusung politik aliran, dalam perjalanan Pemilu mengalami penurunan. Pertama, partai Islam tidak mampu memberi penjelasan yang memadai atas berbagai isu yang jadi perhatian publik berdasarkan platform politik aliran yang dianut. Sebagai contoh, kenaikan harga BBM. Pimpinan dari partai Islam justru mendukung kebijakan pemerintah tersebut dan memberikan alasan pembenaran atas berlakunya sistem pasar bebas. Platform partai yang menolak paham Liberalisme, dalam kenyataannya memberi dukungan diberlakukannya sistem tersebut melalui kenaikan harga BBM. Kedua, partai-partai Islam dinilai gagal dalam memanfaatkan isu ekonomi dan korupsi. Padahal dua isu itu terus mendapatkan sorotan publik. Partai-partai Islam cenderung menjadi pengikut daripada menjadi leader dalam mengembangkan sebuah isu. Ketiga, Partai-partai non Islam mulai mensasar isu-isu Islami. Demokrat dan Golkar mulai membentuk organ-organ sayap yang khusus menggarap pemilih Muslim. Bahkan, PDIP pun membentuk Baitul Muslimin Indonesia. Partai-partai nasionalis yang pada awalnya dicap kurang ramah terhadap agenda politik muslim, menjadi lebih reseptif terhadap aspirasi umat. Misalnya, dukungan Golkar dan Demokrat terhadap RUU Sisdiknas dan Pornografi merupakan investasi politik yang berhasil menarik simpati pemilih Islam. Perubahan paradigm shift ini membuat pemilih muslim yang taat untuk lebih memilih partai nasionalis.
Symptom menurunnya dukungan publik terhadap partai-partai politik Islam sungguh berbanding terbalik dengan situasi ketaatan keberagamaan masyarakat yang cenderung meningkat. Meningkatnya religiusitas kaum muslim, termasuk kalangan abangan dapat dirujuk pada beberapa hasil survei kualitatif di antaranya dari data longitudinal LSI (sejak tahun 2003 – sekarang), juga survei PPIM (2001-2002), dan beberapa riset antropologis lain. Salah satu yang paling mengemuka, mulai maraknya penggunaan hijab di kalangan abangan. Meningkatnya religiusitas kaum Muslim, termasuk kalangan abangan, tidak lantas diikuti dengan naiknya suara partai Islam. Padahal, kalau kita konsisten mengikuti politik aliran, meningkatnya ketaatan beragama tersebut seharusnya termanifestasi dalam pilihan mereka ke partai-partai Islam. Anak-anak santri cenderung memilih partai yang berasas Pancasila. Massa pemilih santri nampaknya sudah cukup toleran, sudah cukup mampu membedakan wilayah politik dan wilayah keagamaan, dua wilayah yang sering dikaburkan oleh elite politik dalam memobilisasi dukungan massa. Ditambah lagi dengan semakin otonomnya ormas terbesar: NU dan Muhammadiyah dalam menentukan pilihan politiknya.
Dari berbagai sumber
Download
Pembahasan tentang Politik Aliran (Sektarianisme) di Media Sosial:
https://youtu.be/-bdvyJRfSBk?si=26XqvRHKJG9qr3f9
https://www.instagram.com/p/C7lVXAMxSNk/
https://www.tiktok.com/@sosiologisman1cibeber/video/7374666798458850578
Post a Comment